Senin, 30 Agustus 2010

catatan 1 : berpikir sesuatu yg rumit

Dalam kehidupan sehari-hari, sering saya melihat hal-hal yg tidak sesuai dengan apa yg saya pikirkan. Kadang sedih rasanya menyaksikan hal tersebut. Ingin merubah tapi takut untuk bertindak. Hanya bisa diam menunggu dan pasrah, sesuatu yg sering membuatku jadi suntuk dan kesal.

Aku berpikir, 'kapan negeri ini bisa berubah, ya' 'mengapa tempat sebesar ini justru jadi ejekan dan cemohan negara lain?' 'sampai lagu kebangsaannya dihina semacam itu?'

apa yg salah dari indonesia? Sungguh ironis, melihat orang kaya banyak tapi orang miskin juga banyak. Banyak orang pandainya tapi banyak juga orang yang bodoh. Kapan negeri ini mau maju kalau keadaan dalam negeri saja nggak kondusif semacam ini? Dimanakah negeriku yg berdaulat?

Jumat, 06 Agustus 2010

Seindah Senyumanmu

Kuletakkan beberapa kuntum bunga mawar diatas gundukan tanah yang berwarna cokelat kemerahan. Kupandangi batu nisan yang tertancap diatas tanah itu.
Tak terasa, air mulai turun dari mataku. Kutengahdahkan tanganku diatas makam itu. Dan, mulai berdoa supaya orangyang berada didalam makam itu mendapatkan nikmat kubur dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selesai berdoa, aku menghapus air mataku. Lalu, seorang anak laki-laki berumur lima tahunan datang menghampiriku.
“Ayah, Ayah…!!” Anak kecil itu memanggilku dengan nada yang khas.
“Ini…” Anak kecil itu menoleh kearah makam yang ada dihadapanku.
“Ini makam siapa, yah?” dengan bola mata yang berwarna hitam kelam bagai langit dimalam hari, anak kecil itu memandangku dengan wajah polos.
Aku tersenyum saat mendengar pertanyaannya.
Kubelai rambutnya yang begitu lembut. Dan, kududukkan dia diatas pangkuanku.
“Ini adalah makam Ibu, ayah…!!” jawabku sambil memandangi makam tersebut.
“Berarti, ini adalah makam Nenek, Ridwan?” Anak itu memandangku dengan wajah ingin tahu.
Aku mengangguk.
“Ridwan tahu tidak…!! Kalau, Nenek Ridwan itu orang yang sangat baik…?!” ucapku.
“Sama seperti ibu…?” Ridwan balik bertanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Beliau adalah orang yang membuat Ayah bisa menjadi seperti ini…!!” Aku teringat kembali dengan masa laluku.
***
Tiga belas tahun yang lalu…
“Ri…!! Hari ini, kita berdua pergi ke Rumah Sakit, ya…!!” Kakak perempuanku, Laras meletakkan secangkir teh dihadapanku.
Aku terdiam ketika mendengar kata-kata Kakakku.
“KRIEET….!!”
Aku berdiri dari kursiku.
“Lho…!! Kamu mau kemana?” Kak Laras menatapku dengan wajah keheranan.
“Aku mau berangkat ke sekolah…!!” Aku mengambil tas yang kuletakkan diatas meja ruang tamu.
“Lho…?! Kamu tidak mau sarapan dulu, Ri?” Kak Laras kembali bertanya kepadaku.
“Tidak, Kak…!! Nafsu makanku sudah hilang…!!” jawabku singkat.
Kemudian, tanpa memperdulikan lagi pertanyaan maupun kata-kata dari Kak Laras, aku berjalan meninggalkan rumah dan berjalan menuju ke sekolah yang ada tidak jauh dari rumahku.
***
Setelah berjalan sekitar lima belas menitan, aku sampai didepan pintu gerbang sekolah.
Dengan perasaan malas, aku masuk ke dalam sekolah.
“Huuuh…!! Enak saja…!! Menyuruhku pergi ke Rumah Sakit untuk menemui wanita itu…!!” gerutuku dalam hati.
“Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mau menemui wanita itu…!!” tegasku dalam hati.
***
Siang Harinya…
Bel sekolah berbunyi lima kali. Itu artinya sekolah sudah usai dan anak-anak diijinkan untuk pulang.
Seperti biasa, diwaktu berangkat maupun diwaktu pulang sekolah, perasaan malas selalu saja hinggap didalam hatiku. Dan, kini saat aku akan berjalan keluar dari gerbang sekolah…
“Ri…!! Tunggu dulu…!!” Seorang perempuan berambut hitam panjang berlari kearahku.
Aku mengurungkan niatku untuk keluar dari gerbang sekolah dan menunggu perempuan itu sejenak.
“Ada apa?” tanyaku pada perempuan itu.
“Begini, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu…!!” jawab perempuan itu dengan nafas tersenggal-senggal.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanyaku lagi.
Perempuan itu menoleh kesana-kemari dan bertingkah-laku aneh dihadapanku.
“Ri…!! Kau ikut denganku sebentar, ya…!!” pinta perempuan itu.
“Kemana?” wajah berubah menjadi heran.
“Ke taman sekolah…!!” perempuan itu menunjuk sebuah taman yang ada disudut halaman sekolahku.
***
Bunga-bunga berwarna indah tumbuh dengan subur. Beberapa buah tempat duduk bercat putih menghiasi taman itu. Dan, tak luput, sebuah kolam bercat ada ditengah-tengah taman itu.
“Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan kepadaku, sih, Trid…?!” wajahku berubah menjadi penasaran.
“Sebenarnya…” Perempuan bernama Astrid itu mengambil sesuatu dari dalam tas-nya.
“Ini…!!” Astrid menyerahkan sebuah kado dengan hiasan sebuah pita berwarna merah kepadaku.
Aku menerima kado itu dengan wajah heran.
“Kau menyerahkan ini dan mau mengatakan kalau kau suka padaku?” Aku menatap Astrid dengan wajah heran.
Seketika itu juga, wajah Astrid berubah menjadi merah, entah itu karena ia malu atau yang lainnya. “SIAPA JUGA YANG MAU MENGATAKAN HAL ITU KEPADAMU….!!” Astrid berteriak tepat ditelingaku.
“NGIIING…!!” telingaku berdenging karena volume suaranya yang begitu keras.
“Siapa juga yang mau mengatakan kalau aku suka dengan anak sepertimu…” gerutu Astrid dengan wajah sebal.
“Sekalipun kau ini pandai, tapi, kau terlalu dingin dan terlalu penyendiri…!!” lanjut Astrid.
“Lagipula, aku ini ‘kan musuhmu…!! Kenapa juga aku harus suka padamu…!!” ucap Astrid dengan emosi menggebu-gebu (Astrid peringkatnya selalu no. 2 dari Ari).
“Iya…!! Iya…!! Aku tahu…!!” Aku menutup kedua telingaku sebentar.
“Kalau begitu, beri tahu aku, kenapa kau memberikan kado ini kepadaku?” Aku menunjuk kado yang ada ditanganku.
“Aku menyerahkan kado itu kepadamu atas permintaan seseorang,” jelas Astrid.
“Seseorang…?!” Aku mengulang kata-kata Astrid dengan wajah penasaran.
“Ya.” Astrid mengangguk. “Orang itu, memintaku untuk memberikan kado ini kepadamu, Dan…”
***
Kini, Aku dan Astrid berjalan menuju sebuah gedung yang ada tidak jauh dari Sekolahku. Langkah kakiku terhenti saat tiba didepan pintu gerbang gedung bercat putih dan berlantai empat itu. Aku teringat kembali dengan orang yang sudah melukai hatiku ketika aku berumur sepuluh tahun.
“Huuh…!! Kenapa, aku jadi teringat masa lalu…?!” gerutuku dalam hati.
Kemudian, aku masuk ke dalam gedung itu. Banyak orang berlalu-lalang di dalam gedung itu. Dilihat dari wajah mereka, mereka tampak begitu sibuk karena, harus mengurusi ini-itu. Dan, setiap langkah, aku masuk ke dalam gedung itu, ingatan-ingatan dimasa lalu terbayang dihadapanku.
Mulai saat dipukul, karena telah mencuri. Dijewer karena sudah berkata yang tidak-tidak. Hanya boleh makan nasi dengan telur selama satu hari penuh, karena aku mendapat nilai jelek dalam ulangan. Lalu, yang paling penting, aku pernah dihukum harus mengerjakan latihan-latihan soal selama tiga jam penuh, hanya karena, keasyikan Nonton TV dan melalaikan Shalat Ashar.
Hukuman-hukuman yang terus aku jalani karena kesalahan yang kulakukan, hingga umurku empat belas tahun, membuatku menjadi seorang anak yang dingin dan penyendiri. Tidak suka terlalu banyak bicara dan selalu terkesan sombong.
Tetapi, ketika aku berpikir-pikir kembali, ada benarnya juga jika aku dihukum. Namun, aku tetap tidak terima jika harus diperlakukan seperti itu. Rasa egois dan harga diri yang terlalu tinggi membuatku sulit untuk memaafkan seseorang. Dan, terkadang, perasaan itulah yang membuatku menderita hingga saat ini.
“Sudah sampai,” Astrid menghentikan langkah kakinya saat tiba disebuah kamar.
“Ini ‘kan…” wajahku berubah saat melihat nomor kamar itu.
“Ayo, kita masuk, Ri…!!” Astrid menarik tanganku.
“CKLEK…!!”
Saat kami berdua masuk, seluruh pandangan orang yang ada didalam ruangan itu teruju kepada kehadiran kami berdua. Sementara itu, pandanganku tertuju kepada seorang wanita berwajah pucat yang kini sedang terbaring lemah dengan jarum infuse yang menusuk kulitnya yang berwarna cokelat dan sebuah selang pernafasan ada dihidungnya.
Wanita itu tersenyum saat melihat kedatanganku. Namun, aku mengalihkan pandanganku kearah lain dengan wajah muram. Melihat wajahku yang seperti itu, wanita itu menjadi sedih.
“Ri…!! Dia adalah orang yang membuatkan kado itu,” ucap Astrid dengan nada lembut.
Aku terdiam mendengar kata-kata Astrid. Dan, tanpa pikir panjang, kulempar kado itu diatas lantai.
“Ari…!!” orang-orang yang ada didalam ruangan itu begitu kaget saat melihat sikapku.
Aku hanya diam saat melihat pandangan-pandangan dari orang-orang itu. Dan, saat aku akan meninggalkan ruangan itu…
“A…Ariii…” wanita itu memanggilku dengan nada lemah.
Aku menghentikan langkah kakiku saat mendengar panggilannya.
Air mulai mengalir dari mata wanita berwajah pucat itu. Wanita yang berusia sekita tiga puluh lima tahunan itu, kini menangis seorang diri diatas tempat tidur.
“Ma…Maafkan ibu…!! Walaupun, mungkin kau tidak mau memaafkan Ibu tirimu ini…!!” ucap wanita itu dengan suara lirih.
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya. Emosiku mulai meledak saat mendengar kata-katanya barusan.
“Ari…!!” Astrid memanggilku dengan nada tegas.
Aku menoleh kearahnya dan memandangnya dengan mata penuh emosi. Lalu…
“PLAAK…!!!!”
Astrid menamparku dengan begitu keras. Orang-orang yang ada di ruangan itu tambah terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Astrid.
“Kau benar-benar orang yang Dzalim…!!” ucapan Astrid terdengar begitu tajam ditelingaku.
Aku terdiam mendengar kata-katanya.
“Apakah, kau ingin menjadi anak yang durhaka…?! Apakah kau benar-benar ingin menjadi orang yang dimurkai Tuhan karena telah membenci orang tuamu sendiri…?!” pertanyaan yang begitu tajam keluar dari mulut Astrid.
Aku diam tak menjawab. Kupalingkan wajahku dari tatapan Astrid.
“Astrid. Sudah..., jangan berbuat seperti itu kepada Ari…” wanita lemah itu berusaha mencegah Astrid untuk memarahiku, lewat kata-kata.
“Jika, tidak diperlakukan seperti ini, dia benar-benar akan menjadi anak yang durhaka, Bi…?! Apakah, Bibi menginginkan hal itu?” tanya Astrid dengan suara agak halus.
Wanita itu terdiam mendengar kata-kata Astrid. Wajahnya tampak begitu sedih.
“Sekarang, minta maaflah kepada ibumu…!!” perintah Astrid.
“Dia bukan Ibuku…!!” ucapku dengan suara pelan.
“Deg…!!”
Jantung wanita itu berdetak sangat kencang ketika mendengar kata-kataku barusan.
“Dia hanya orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah denganku…!!” ucapku dengan tegas.
“Ari…!!” Kak Laras, Ayah, saudara-saudaraku dan Astrid begitu terkejut ketika mendengar ucapanku, termasuk wanita itu.
“Agh…!!” tiba-tiba saja wanita itu mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya, tempat dimana sebuah organ tubuh manusia yang begitu penting, terasa sakit.
Wanita itu mulai kesulitan untuk bernafas. Keringat bercucuran dari dahinya. Dan, dia tampak begitu kesakitan. Melihat keadaan seperti itu, Ayahku, Kak Laras dan saudara-saudaraku menjadi panik. Mereka kemudian memanggil Dokter yang menangani penyakit wanita itu. Sementara itu, aku hanya bisa diam terpaku ketika melihat dokter sibuk memeriksa keadaan wanita itu.
“Sama…!! Sama seperti waktu itu…!!” seluruh badanku gemetar ketakutan ketika melihat bayangan masa laluku kembali.
Saat itu, Ibuku dirawat dirumah sakit. Penyakit Ibuku awalnya hanya karena diabetes, namun, hal itu berlanjut hingga akhirnya, beliau mengalami komplikasi pada jantung dan hatinya. Disaat-saat terakhir, aku mendengar dari mulut Ayah sendiri dari balik pintu kamar Ibu, bahwa Ayah akan menikah dengan wanita itu. Dan, setelah itu, Ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Hari sudah mulai malam, namun, operasi masih belum selesai. Kami semua menuggui wanita itu diluar ruang operasi. Dan, entah kenapa, tiba-tiba saja perasaanku mendadak menjadi sakit seperti ditusuk-tusuk oleh pisau.
“Ari…!!” Ayah kini berdiri dihadapanku. “Ada yang ingin Ayah bicarakan padamu.”
***
“Apa yang ingin Ayah bicarakan kepadaku?” Kini, aku bersama dengan Ayah ada diatap beranda rumah sakit, lantai empat.
Ayah terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. Beliau memandang langit malam yang berwarna hitam pekat. “Umurmu sudah enam belas tahun. Itu berarti, kau sudah cukup umur untuk mendengarkan cerita ini.”
Aku terheran-heran saat mendengar kata-kata Ayah.
“Sebenarnya…” raut wajah Ayah terlihat begitu sedih. Sorot matanya tampak sedih sekaligus berat. “Kau bukan puteraku,” ujarnya pelan.
***
“DRAP…DRAP…DRAP…!!”
Aku berlari dengan begitu kencang menuju ke lantai satu. Air mengalir dari mataku saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya mengenai siapa sebenarnya diriku ini.
“Ri…!! Sebenarnya, kau adalah putera dari Wiwin, orang yang saat ini paling kau benci dengan Rio, teman dekatku.”
Aku terus saja berlari tanpa memperhatikan orang yang berlalu lalang disekitarku.
“Saat itu, umurmu baru enam bulan…!! Dan, kedua orang tuamu bekerja sebagai seorang peneliti…” Ayah mengingat kembali kejadian itu.
“Suatu hari, kedua orang tuamu harus pergi ke Irian Jaya untuk untuk menyelidiki sesuatu. Mereka berdua, tidak tega membawamu ikut serta dalam perjalanan dinas itu, dan akhirnya mereka menitipkanmu kepada kami.”

“BRUUKK…!!”
Tanpa sengaja, aku menabrak seorang perawat yang lewat didepanku.
“Ma…Maaf…!!” setelah berkata seperti itu, aku berlari menuju kearah tangga lantai tiga.
“Namun, sayang.., sebelum sampai di tempat tujuan, pesawat yang ditumpangi kedua orang tuamu mengalami kecelakaan. Ayahmu meninggal dan Ibumu mengalami luka parah.”
“Bisa-bisanya, aku membenci Ibu kandungku sendiri…!!” hatiku menjerit kesakitan karena, sikapku yang begitu menyakiti ibuku sendiri.
“Awalnya, saat umurmu lima tahun, Ayah ingin memberitahukan tentang hal ini kepadamu, tetapi, Ibu Laras melarangnya. Ia mengatakan, bahwa kau masih belum cukup siap untuk diberitahu tentang hal ini.”
Kata-kata Ayah tadi, terus membayangi pikiranku.
“Aku mengalah dan menunggu beberapa tahun lagi untuk mengatakan hal ini kepadamu. Namun, takdir memang sulit untuk ditebak…” Ayah menghentikan kata-katanya sejenak.
“Ibu Laras akhirnya memintaku untuk menikah dengan ibumu disaat-saat terakhir. Saat aku mengatakan bersedia untuk menikah dengan ibumu, kau mungkin mendengarnya dari balik pintu kamar Ibu Laras.”

Aku terus saja berlari dengan perasaan menyesal.
“Ternyata, Ibumu memintaku untuk merahasiakan bahwa sebenarnya kau adalah puteranya. Dan, semenjak Ibumu menjadi istri Ayah, dia mulai memberi ajaran-ajaran yang bisa dikatakan keras kepadamu.”
“Hal itu dilakukannya, supaya kamu menjadi orang yang disiplin, orang yang selalu berbuat jujur dan orang yang bertakwa kepada Tuhan…!!”
“Aku memang benar-benar anak yang durhaka…!!”
ucapku dalam hati.
“Sekalipun, semua perbuatan yang dilakukan ibumu itu, mengakibatkan kau membencinya...” Kata-kata terakhir dari Ayah tadi membuatku sadar dari kekeliruanku selama ini.
“Hosh…Hosh…Hosh…!!”
Kini, aku berada di depan pintu ruang Operasi. Kulihat, lampu di ruang Operasi sudah tidak menyala lagi.
“Ri…!!” Astrid berdiri dibelakangku.
Aku menoleh kearah Astrid.
“As, di mana Ibuku?” Aku langsung bertanya seperti itu kepada Astrid.
“Ibumu…Ibumu…” Astrid tak dapat melanjutkan kata-katanya. Air mengalir dari bola matanya yang berwarna cokelat seperti warna tanah.
“Ti…Tidak mungkin…” badanku gemetar saat melihat air matanya.
Kemudian, Astrid menunjuk ke sebuah ruangan yang tak lain adalah ruang ICU. Setelah melihat ruangan yang ia tunjuk, aku langung berlari menuju ruangan itu. Kemudian, saat tiba didepan pintu ruangan itu, aku berhenti berlari dan membuka pintu ruangan itu pelan-pelan.
“TUUT…TUUUT…TUUUT…!!”
Detak jantung ibuku terdengar begitu lemah.
Kututup pintu ruangan itu dan kudekati ibuku pelan-pelan. Air mataku mengalir dengan begitu deras saat melihat kondisinya yang memprihatinkan. Kemudian, aku duduk disebuah kursi yang ada disamping tempat tidurnya.
“Ibu…!!” Aku menggenggam dengan erat tangan Ibuku yang begitu hangat. Air mata yang mengalir dengan deras semakin keluar dengan begitu deras saat menyentuh tangan ibu kandungku sendiri.
“Ng…!!” Aku merasakan jari-jari tangan ibuku bergerak.
Beliau membuka matanya. Dan, saat melihatku, beliau tersenyum senang. “A…Akhirnya, kau mau mengakui ibumu ini, Nak..” ucap Ibuku dengan suara pelan.
“Ma…Maafkan Ari, Bu…!! Maafkan kesalahan Ari selama ini, Bu…!!” aku menangis tersedu-sedu di hadapan Ibuku.
Ibuku tersenyum mendengar permintaan maafku. “Ibu sudah memaafkanmu, Ri…” jemari-jemarinya yang lemah mengusap rambut hitamku yang pendek. “Ibu sudah memaafkan semua kesalahanmu.” Lanjutnya pelan dengan suara seperti berbisik.
“TUUUUTTT...!!”
Tangan Ibu yang tadi kugenggam dengan erat jatuh ke tempat tidur. Kini, suara detak jantungnya sudah tidak terdengar lagi.
Aku ternganga ketika tak lagi merasakan usapannya. Jari-jari yang lemah itu kini jatuh di atas tempat tidur. “Ti…Tidak…” Aku tidak percaya dengan pemandangan yang kulihat saat ini. “Ini tidak mungkin…!!” kedua kakiku terasa lemas hingga aku terduduk diatas lantai rumah sakit yang dingin.
Penyesalan yang luar biasa masuk ke dalam hatiku. Air mengalir dari mataku seolah menggantikan penyesalan yang hingga di hati ini.
***
“Yah…!!” anak kecil yang duduk diatas pangkuanku membuyarkanku dari ingatan masa lalu.
“Kita pulang, yuk…!! Ibu pasti sudah menunggu di rumah…!!” anak itu mengajakku untuk pulang.
Aku mengangguk mendengar kata-kata anak kecil itu. Kemudian, aku beranjak pergi dari makam itu bersama dengan Ridwan.
“WHUUSSS…!!”
Angin berhembus dengan lembut di sekitarku. Kuhentikan langkah kakiku sejenak. Kemudian, aku menoleh ke arah makam itu lagi.
“Ayah…!!” Anak kecil itu menarik-narik lengan bajuku. Dia sudah tidak sabar lagi untuk pulang ke rumah.
“Iya…Iya…!!” Kuturuti kemauan anak itu.
Dan, kami berdua meninggalkan Tempat pemakaman itu. Tempat dimana seseorang yang telah mendidikku beristirahat dengan tenang di Alam sana.
Hembusan angin lembut menerpa dedaunan berwarna hijau disekitar jalan. Ranting-ranting kecil berwarna cokelat berayun-ayun seolah mengatakan selamat jalan.