Rabu, 27 April 2011

Catatan 17: Langitku

Aku tak bisa berucap, hanya termenung dan terdiam. Denting kecil itu terdengar samar di telinga, membuatku ingin memejamkan mata dan terlelap di dekatnya. Ah..., denting tiba-tiba terhenti. Aku mengangkat kepala dan memandang sekeliling. Sepi, sunyi, semua terasa gelap. Di mana suara itu? Kenapa suara itu menghilang?

Ah... semuanya kembali terasa hambar. Sepi, senyap, tak ada rasa. Rumit! Berkembang menjadi rumit atau... aku sendiri 'kah yang membuatnya menjadi rumit? Aku... tak mengerti. Denting itu... aku ingin mendengarnya kembali. Aku ingin terlelap bersamanya. Ya... satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah terlelap dalam kehidupan yang kadang membuatku merasa jenuh.

Langit... mengapa kau begitu sulit untuk kugapai? Mengapa kau begitu sulit untuk kucari? Banyak hal telah berlalu dan kau tak kunjung muncul di hadapanku. Tak tahukah kau... itu benar-benar menyiksaku? Merindu tanpa sebab, benci tanpa diminta, mencintai... tanpa bayangan. Aku ingin bertemu tapi aku pun takut. Banyak sekali dalam pribadi ini yang sulit dipahami oleh banyak orang.

Denting... tidurkanlah aku. Lelapkan aku pada kesendirianku. Biarkan aku tenggelam dalam gelapnya malam yang menyesakkan. Jangan pernah bangunkan aku dari kesedihanku. Biarlah dia terlunta-lunta mencari bagian dari dirinya yang hilang dan biarkan potongan kecil ini terkubur dalam kesunyian.

Begitu banyak orang yang dengan mudahnya mengatakan cinta. Namun... diri ini tak sanggup mengatakannya pada langit. Tak terlihat tetapi terasa. Kesedihan ini meresap dalam sanubari yang paling dalam. Aku menunggumu. Bangunkan aku dari lelap yang menyedihkan ini. Pecahkanlah denting pelelap yang memisahkan kita.

Langit... tahukah kau... bagaimana hakikat cinta itu yang sebenarnya?
Langit... tahukah kau... seperti apa rasa rindu yang membuat leherku tercekik?

Aku menginginkan dirimu. Aku merindukanmu. Namun, aku tahu... waktu di depanku masih gelap. Siapa yang berdiri di depanku... masih tak terlihat. Lembaran itu masih kosong. Belum ada.. yang membantuku mengisi kekosongan itu bersama-sama. Ceritaku... pada denting waktu yang berjalan.

Sabtu, 09 April 2011

Kasus 1: Sekolah Mafia atau Mafia sekolah?

Bayu berkali-kali geleng-geleng kepala ketika menonton berita di televisi yang menceritakan tentang tawuran yang terjadi di sekolahnya pagi tadi. Sampai sekarang, dikatakan bahwa anak-anak pelaku tawuran tersebut belum tertangkap karena begitu gesitnya mereka kabur ketika polisi mendekati areal kerusuhan. Ibunya yang ikut menonton peristiwa ini hanya bisa ber-istigfar karena kelakuan anak-anak muda itu. Ayah Bayu, yang sedang tugas, sempat menelepon ke rumah dan menanyakan kabar Bayu. Pria itu kelihatan lega mendengar kabar bahwa anak sulungnya baik-baik saja dan dalam keadaan sehat wa'alfiat.

Enjih menutup HP-nya setelah mendengar ceramah panjang lebar dari ibunya. Bapaknya juga sempat sms supaya dirinya jangan keluar dari kompleks area perumahan TNI sampai mereka nanti datang menjemput. Kedua Orangtuanya benar-benar
takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak jika Enjih berani keluar untuk saat ini. Situasi saat ini masih kurang menguntungkan untuk anak-anak dari sekolah Perketi Luhur (nama sekolah ini hanyalah fiktif belaka).

Budi baru saja selesai sms pada adik perempuannya untuk mengabari kepada Abah dan Emak kalau dirinya baik-baik saja. Lita, Rina, dan Edo juga kini bergabung bersama Enjih, Bayu dan Budi, satu jam setelah mereka dikabari untuk segera datang ke rumah Bayu.

Ketiga anak itu sudah berada lebih dulu di sekolah saat penyerangan berlangsung sehingga, ketika ketiga kawannya mengontak mereka untuk segera pergi dari sekolah, mereka bertiga langsung memutar otak supaya bisa keluar dari sekolah tanpa ketahuan oleh para penyarang. Akhirnya, dengan suatu kesulitan tingkat tinggi serta kemampuan yang benar-benar diusahakan, ketiganya meminjam kostum dari pihak teater dan pergi dari sekolah. Edo -> sebagai orang gila, Rina -> mahasiswa, dan... Lita -> preman nyasar (^__^"). Mereka bertiga betul-betul gugup dengan penyamaran mereka sendiri sekalipun alhamdulillah..., mereka bisa lolos dari kejaran para pelaku tawuran.

"Ah..., aku dapat alasannya...!!" seruan Edo membuat perhatian orang-orang yang ada di depan ruang TV beralih kepadanya. Kini, tinggal mereka berenam yang ada di ruangan itu. Ibu Bayu sudah beralih ke dapur untuk memasak. Adik-adik Bayu sendiri masih bersekolah.

"Alasan apa?" Lita menyerngitkan dahi, penasaran.
"Alasan siswa SMA AdiLuhung (ini juga nama fiktif) menyerang sekolah kita," Edo menunjukkan HPnya pada kawan-kawannya. Mereka berlima langsung mengerubungi pemuda itu dan satu per satu membaca sms di kota masuk HP Edo secara bergiliran.

"Aku punya kawan dekat di SMA AdiLuhung," Edo mulai menjelaskan bagaimana dia mendapat informasi ini. "Dia temanku di SD dan SMP. Katanya..., dia juga kaget ketika Gurunya memberitahukan pada mereka kalau ada beberapa kawan mereka yang menyerang SMA kita. Jujur, dia prihatin dengan peristiwa ini. Saat kutanyakan alasan kawan-kawannya menyerang kita, dia menjawab kalau itu karena mantan pacar pimpinan Geng Kapak Hitam (Nama yang di-ilhami dari geng Kapak merah (-__-")) direbut oleh salah satu siswa kelas XII sekolah kita. Entah namanya siapa. Nah, merasa tidak terima, harga dirinya terenggut atau apalah, karena si ketua geng pengin balikan dengan mantannya, makanya... tawuran ini terjadi."

"Hanya karena itu...!!!" Rina ternganga mendengar penjelasan rincinya.
"Ya Tuhan...!!! Waktu yang bisa dipakai untuk menuntut ilmu jadi terbuang gara-gara masalah seperti itu...!!!" Enjih kembali mengumpat. "Duh Gusti....!!! Paringano bedil...!! Rasane pengin nembak bocah-bocah kuwi...!!" pemuda itu mengumpat lagi, marah-marah.
"AKu tak habis mengerti..., kenapa mereka menyerang kita hanya karena masalah ini," Lita geleng-geleng kepala. "Mereka itu sebenarnya niat sekolah atau cuma mau pamer kekuatan saja?" ia juga ikut-ikutan mengumpat.

Edo cuma bisa mengangkat kedua bahunya. Pikirannya juga sama seperti kawan-kawannya. Ia tak habis mengerti..., mengapa mereka tega menyerang sekolah mereka? Hanya karena satu orang yang mereka incar, hampir seluruh anak-anak di sekolah Pekerti Luhur kena batunya.

Bayu diam. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Gimana nih, Yu?" Enjih menatap kawannya dengan tatapan ingin balas dendam. "Rasanya..., aku pengin memukuli mereka satu per satu." Ia kelihatan tidak sabar untuk melampiaskan amarahnya pada kawanan berandalan kecil itu.
"Tenang dulu, Njih," Bayu melirik kawannya. "Kalau kita menyerang mereka dengan cara yang sama seperti mereka, itu membuat kita sama rendahnya seperti mereka." Ia menarik nafas dalam-dalam. Aura kepemimpinannya menguat. "Aku ada ide untuk memberi 'pelajaran' terhadap mereka." seringai senyuman sinis terbentuk di wajahnya yang terlihat ramah.

"Wah..., kami jadi tidak sabar mendengarkan rencananya, Ndan," Budi ikut-ikutan tersenyum. Kalau Bayu sudah menampilkan senyum tersinisnya seperti ini, itu berarti... dia punya ide cemerlang untuk pemecahan masalah mereka.
"Oke, Ndan! Kita siap bekerja kok!" tutur Edo bersemangat. Ia kelihatan tidak sabar untuk memulai aksinya.

Bayu tetap tersenyum. Ia menepuk bahu kanan Enjih. "Tapi... kita tidak bisa bekerja sendirian," terangnya. "Kita... butuh bantuan 'beberapa pihak'."

Bersambung....

Senin, 04 April 2011

Kasus 1: Sekolahan...

Berkali-kali Enjih menguap pelan saat berjalan malas menuju sekolahannya di ujung kampung sana. Pemuda itu masih terlihat mengantuk. Hmm..., efek gara-gara main game semalaman dengan adiknya (-__-"), akhirnya... dia jadi ogah-ogahan berangkat ke sekolah seperti ini. Sekali-kali, dia juga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sepertinya..., kedua matanya juga masih berat buat diajak menuntut ilmu bareng-bareng. Wah..., siraman air dari Ibunya rupanya kurang tuh :D. Hehehehe..., nggak bangun-bangun juga padahal alarm sholat subuh udah berbunyi berkali-kali, si Ibu pun ambil segayung air kemudian menyiram Enjih supaya tuh anak bangun sampai-sampai..., tuh anak megap-megap sambil teriak-teriak kebanjiran gara-gara kaget. (^0^) (salah satu cara yang dilakukan orangtua kalau anaknya bangun kesiangan -__-").

Sebuah tepukan keras di bahu membuat Enjih meringis. Pemuda itu menoleh ke samping kanannya dan ternyata si Budi sama Bayu udah berada di sampingnya.

"Kenapa kamu? Kelihatan males banget?" Budi menyerngitkan dahi melihat Enjih kembali menguap.

"Semalam aku main game bersama adikku," jawab Enjih. "Sampe jam 1 pagi."

"Kalau Ibuku tahu jam 1 aku belum tidur, sangat diyakinkan kalau esoknya, peralatan gameku bakal disita," timpal Bayu.

"Makanya..., jangan sampai tahu, dong," balas Enjih datar.

"Sudah ngerjain Tugas Matematika?" Budi kembali bertanya.

Enjih mengangguk pelan. "Pagi tadi."

"Hei..., semangat dikit, dong," Budi menyenggol lengan kanannya. "Masa' kamu mau
ngantuk seperti ini terus dari pagi sampai siang."

Enjih diam, tidak menanggapi. Kalau lagi bad mood seperti ini dia memang lebih suka diam, tanpa berkata-kata. Sebentar lagi mereka sampai di tikungan kemudian jalan besar. Menyeberang, sampailah mereka di sekolah. Namun, pandangan ketiga pemuda itu berubah menjadi heran melihat sekawanan anak-anak berseragam seperti mereka, lari terburu-buru, menjauh dari sekolah. Beberapa mobil, motor, serta orang-orang juga terlihat sibuk berbalik arah.

"Hei...!! Hei...!! Ada apa ini?" Bayu menghentikan salah satu dari anak-anak itu. Dari bet yang dijahit di lengan kanannya, Bayu tahu kalau mereka siswa kelas satu.

"Anu..., Kak..., mending Kakak bertiga cepat pergi...!!" jawabnya terburu-buru dengan badan gemetaran. "Sekolah diserang...!! Tawuran, Kak...!! Tawuran...!!" setelah berkata seperti itu, dia buru-buru pergi menyelematkan diri bersama kawan-kawannya.

"Tawuran?" Budi menyerngitkan dahinya. Masa' sih?, pemuda itu berlari kecil, menuju ke tikungan untuk melihat kondisi yang sebenarnya. Begitu melihat di ujung gang sana, ekspresi wajah Budi berubah menjadi ketakutan. Siswa dari sekolah lain tengah menyerbu sekolah mereka, menyerang anak-anak sekolah dengan batu. Beberapa siswa dari sekolah Budi juga mengadakan perlawanan. Mereka balik menyerang.

Beberapa di antara siswa dari sekolah lain melihat Budi tengah memandangi mereka. lima dari gerombolan siswa penyerang itu berteriak, menunjuk ke arah Budi. Pemuda itu gelagapan ketika siswa-siswa itu mengejarnya sambil membawa senjata tajam. Dia langsung memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk lari. Pertamanya, Bayu dan Enjih masih biasa saja ketika melihat Budi berlari ke arah mereka. Namun, begitu melihat para pengejar Budi, nyali keduanya langsung menciut. Serta merta, mereka bertiga lari tunggang -langgang menyelamatkan diri.

"Ke mana kita pergi?!" seru Budi dengan wajah pucat pasi. Dia membayangkan kalau dirinya bakal babak-beluk dihajar habis-habisan oleh para berandalan sekolah itu. Apalagi... mereka membawa senjata tajam. Bisa mati dia!!!

"Ke rumahku saja...!!!" seru Bayu lantang. "Mereka tidak akan berani masuk ke kompleks perumahan TNI...!!!" Ia makin mempercepat larinya. Hmmm..., rupanya latihan fisik yang sellau ditekankan Ayahnya setiap pagi berguna juga.

Mereka bertiga terus dan terus berlari sampai akhirnya tiba di gerbang kompleks perumahan TNI. Begitu masuk ke dalam, para pengejar langsung berhenti mengejar mereka. Kelima berandalan itu terlihat takut begitu melihat simbol-simbol TNI di kawasan perumahan itu. Haaa..., memangnya mereka mau dihukum oleh bapak-bapak anggota TNI?? Menghajar anak-anak itu di sana sama saja mereka cari mati!! Setelah berunding sejenak, kelimanya memutuskan kembali bergabung bersama kawan-kawan mereka.

Sementara itu, Budi dan kedua temannya masih terus berlari sampai akhirnya mereka tiba di titik yang dianggap aman. Beberapa Ibu-Ibu yang sedang menyapu halaman, menyerngitkan dahi melihat anak-anak berseragam itu berlari ngos-ngosan macam itu. Beberapa bapak-bapak anggota TNI juga sepertinya keheranan melihat mereka.

"HISH...!!" Enjih mengumpat kesal. "Siapa sih mereka...?! Berani-beraninya mereka menyerang sekolah kita...?!" gerutunya sebal. Ia bisa menjamin, sekolah hari ini pasti diliburkan.

Budi berusaha mengatur pernafasannya. "Dari atribut seragam mereka..., aku rasa... mereka siswa..."

"Mereka bukan siswa," potong Bayu sengit. "Mereka itu berandalan tidak tahu aturan yang tidak punya peradaban...!!" gerutunya marah.

Budia diam sejenak. Ia membiarkan kedua kawannya marah-marah terlebih dahulu. Setelah keduanya lumayan tenang, baru Budi melanjutkan kata-katanya kembali. "Mereka sepertinya dari SMA XXXX. Aku kenal baik atribut seragam mereka."

"Ya Tuhan...!!" keluh Enjih kesal. "Apalagi yang mereka ributkan dari kita?" gigi-giginya bergemelutuk keras.

Budi mengangkat bahu, tidak tahu.

"Aku rasa..., kita harus cari tahu tentang masalah ini," tukas Bayu. "Bagaimana kalau sekarang juga kita berkumpul? Coba sms Rina, Edo, dan juga Lita. Minta mereka untuk datang ke rumahku secepat mungkin." perintahnya dengan logat yang khas.

Budi dan Enjih mengangguk mematuhi.

Bersambung....