Rabu, 24 November 2010

episode 9: kejenuhan dalam belajar

Selamat malam bagi kawan-kawan sekalian(^__^). Hmmm..., hampir sebulan lebih saya tidak mengutak-atik alias menulis blog ini. Hasilnya..., ckckckck..., nggak ada satupun yang mampir, wkwkwkwk...

Ehm..., kali ini..., saya akan menceritakan mengenai apa, ya? Wah..., begitu banyak telah berlalu hingga saya sendiri bingung mau menuliskan apa. Sampai-sampai, ndomblong di depan komputer karena tak tahu harus menuliskan seperti apa. (Lebay... (-___-")?).

Berkutat dengan yang namanya angka (hampir setiap hari ketemu matematika) sampai kadang-kadang pusing ngeliat penjumlahan, merupakan makanan sehari-hari saya dan kawan-kawan saya. Kami terkadang juga terbengong-bengong mendengar penjelasan dosen yang luaaaarrr biasa.... sulit dimengerti sampai pengin nangis rasanya karena kepala udah pusing duluan. Berbekal tekad, semangat, dan percaya diri (halah..., ki ngopo si?) kami berusaha mati-matian buat mengejar pelajaran kami yang kadang juga nggak terkejar-kejar alias... ketinggalan kereta melulu. (^__^")

UTS telah dilalui dan semuanya berharap-harap cemas dengan nilai yang membuat jantung jadi jantungen dan tangan jadi pengin mecahin sesuatu (kayaknya nggak masuk diakal, deh). Berbagai tanggapan atas nilai yang telah keluar bermacam-macam. Ada yang bersyukur, ada yang sedih, ada yang marah, bahkan... ada yang santai-santai aja. (^__^") ckckckck..., bisa nggak ya seperti tipe terakhir ini yang kelihatan tenang-tenang aja?

semoga kawan-kawan yang selesai menghadapi ujian bisa lulus dan mendapatkan hasil yang terbaik (^__^).

Salam,
-Cahaya Senja-

Sabtu, 30 Oktober 2010

Senandung Malam Api

Malam ini, Thyan pergi bersama dengan Li, putera Ibu asramanya, ke pasar malam yang ada di kota. Thyan memakai pakaian lengan panjang berwarna putih, begitupula dengan warna celananya. Sementara itu, Li memakai pakaian lengan panjang berwarna hitam dengan pakaian luar tanpa lengan berwarna putih. Di pinggangnya terikat sebuah kain berwarna hitam. Mereka berdua menyusuri jalanan kota yang ramai dengan kerumunan orang-orang yang sedang menonton pasar malam.

"Apa tidak apa-apa untukmu, Li?" Thyan memandang pemuda itu dari belakang. "Ibumu marah tidak?"

Li tersenyum, "Ibu tidak marah, kok. Ayah juga biasa saja ketika aku minta ijin untuk pergi ke pasar malam. Jadi..., kau tenang saja. Jangan khawatir."

"Hemm..., Kakak-kakakku akan cemburu padaku karena sikap keluargamu padaku," ujar Thyan sambil memandang kiri-kanannya.

Li tertawa lepas mendengar kata-katanya. "Apa boleh buat. Yang paling lama ikut kami 'kan kau." Pandangan Li tertuju pada sekelompok orang yang tengah ber-akrobat. "Hei...!! Kita lihat itu, yuk," Li menarik tangan Thyan dan mengajaknya untuk menonton permainan akrobat.

Thyan tidak bisa menolaknya. Langkah kakinya sedikit terseok-seok mengimbangi langkah kaki Li yang begitu cepat. Li sedikit memaksa masuk di antara kerumunan orang-orang. Ia lalu mencarikan tempat yang bagus supaya mereka berdua bisa menonton pertunjukan akrobat itu tanpa halangan. Seorang laki-laki menyemburkan api yang sangat besar hingga membuat seluruh penonton terpukau. Para penari akrobat jalanan itu tampak lihai membuat nafas penonton tertahan. Mereka begitu ahli dalam mempermainkan kertertakjuban orang-orang di sekitarnya. Li ternganga kagum ketika salah seorang dari penari itu bisa menangkap penari lain yang meloncat dari salah satu papan kayu. Thyan sendiri cuma diam menyaksikan pertunjukan akrobat itu. Hatinya merasa sedikit resah dan galau mengingat semua kebaikan keluarga Li padanya.

Keluarga Li merupakan keluarga yang terkenal biasa menampung anak-anak terlantar di kota. Yah..., mereka termasuk keluarga kaya, sih. Nah... di tempat penampungan atau disebut juga asrama, anak-anak terlantar biasanya dididik dan diberi pengarahan supaya mereka bisa hidup mandiri. Ibu Li dulunya merupakan seorang seniwati yang hebat sehingga dia mengajarkan keahliannya dalam menari kepada anak-anak asuhnya. Sedangkan Ayah Li yang merupakan seorang pedagang, mengajarkan cara menulis, membaca serta berhitung pada mereka yang kurang mampu ini. Thyan sendiri sudah diasuh dalam keluarga ini semenjak umurnya lima tahun. Sekarang..., umurnya menginjak enam belas tahun. Sudah sebelas tahun dia berada dalam keluarga ini dan berteman akrab dengan anak-anak mereka. Dan..., yang paling akrab berkawan dengannya ya... si Li ini...

Begitu banyak yang telah mereka berikan padanya hingga Thyan yang dulunya tidak punya apa-apa, sedikit demi sedikit mulai bisa berdiri sendiri. Thyan merasa berhutang-budi pada mereka. Karena itu, jika Li ataupun keluarganya yang lain bersikap baik padanya, itu justru membuatnya merasa rikuh sendiri. Bagaimanapun juga..., dia cuma orang luar, bukan keluarga mereka seutuhnya...!!

"Hei... tadi Kak Shan berpesan padaku supaya besok kamu datang lebih pagi dalam latihan," Li menoleh ke arah Thyan.

Thyan tersentak dari lamunannya. "Kak Shan menyuruhku datang lebih pagi?" ia mengerutkan dahinya.

Li mengangguk pelan. "Katanya... ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

Gadis itu makin bertambah heran. "Siapa?"

"Entahlah," Li menggedikkan bahunya. "Tapi..., katanya sih orang penting."

Gadis itu semakin tanda tanya. Pandangannya teralih sejenak ketika ada sekawanan prajurit merusak kerumunan orang-orang yang tengah menonton akrobat. Seluruh orang tampak 'kocar-kacir' karena gangguan prajurit kota. Mereka segera menyingkir, mempersilahkan seorang petinggi untuk lewat. Suara langkah kaki kuda yang gagah terdengar mendekati para pemain akrobat yang diam mematung di tempat masing-masing. Seorang Pria berambut hitam pendek dan memakai baju dinasnya lengkap, memandang tajam ke arah para pemain akrobat itu. Raut wajahnya tampak menyiratkan kemarahan serta kegeraman tersembunyi.

Thyan terperangah melihat Pria yang duduk dengan tegap di atas kuda hitamnya. Ia mengenali Pria itu...!! Dia merupakan salah seorang pengunjung rutin sanggar!! Li sedikit mundur ke belakang ketika beberapa prajurit menyuruhnya untuk mundur.

"Bukankah kemarin aku sudah mengatakan pada kalian untuk tidak beratraksi di sini?!" nada suaranya meninggi tajam dengan suara berat yang khas.

Para pemain akrobat itu gemetar ketakutan mendengar kata-kata Pria itu. Mereka tertunduk takut dengan tubuh menggigil pelan. Thyan memperhatikan Pria pujaan hatinya dengan seksama sampai tidak menyadari kalau Li menarik tangannya dan mengajaknya untuk pergi dari tempat itu.

"Ayo pergi," ajak Li setengah berbisik.

"Kenapa harus buru-buru?" protes Thyan. Ia tak mau meninggalkan tempat ini cepat-cepat.

"Kata Ayahku, tidak baik berlama-lama di tempat yang banyak prajuritnya. Bisa-bisa kita kena tuduhan yang tidak-tidak," Li menarik Thyan dan berjalan menjauhi kerumunan secara perlahan-lahan. Tanpa disengaja, tatapan Thyan dan Pria itu kembali bertemu. Kali ini, sangat jelas bagi Pria itu untuk mengenali Thyan dan Pemuda yang mengajaknya pergi.

Sang Penari Merak

Gadis bergaun hijau muda lembut itu menggerakkan kedua tangannya. Kedua matanya yang berwarna hitam, memandang teduh sekelilingnya tanpa ada rasa sama sekali. Tubuhnya bergerak gemulai, menampakkan kecantikan sang merak yang elok. Kain-kain panjang yang menyelubungi tangannya tergerak ke atas dan ke bawah, berputar dan membentuk bayangan-bayangan indah dalam udara.

Kepekatan malam yang indah membuat suara kecapi dan seruling makin terasa syahdu. orang-orang berdecak kagum menyaksikan tarian mereka yang indah dan elok dipandang. Tak sedikit di antara orang-orang itu membawa pasangan mereka untuk menyaksikan tarian terkenal di pinggir danau besar nan indah. Suara biduanita yang merdu mengalahkan suara-suara malam yang kaku. Semua orang terhipnotis dengan tarian sekelompok orang itu. Pandangan mereka sama sekali tidak teralih pada wajah-wajah bercadar putih tipis yang menarikan tarian indah ini.

Di sudut matanya yang indah, gadis bergaun hijau muda lembut itu mencuri pandang ke arah seorang Pria berpakaian hitam yang tengah menikmati pertunjukan mereka. Sebetulnya, gadis itu memakai pakaian sama dengan kawan-kawannya, yang membuatnya berbeda adalah tatapan malu-malunya pada orang-orang di hadapannya. Ia tampak lebih sering menundukkan pandangannya dan berkonsentrasi pada tariannya daripada melemparkan dengan bebas pandangannya pada siapapun.

Gadis itu tak mengenal Pria berpakaian hitam itu sepenuhnya. Yang ia tahu, seminggu sekali, Pria itu akan datang kemari menyaksikan pertunjukan tarian mereka. Jantungnya berdegup ringan ketika pandangan mereka tak sengaja berpapasan. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Hampir saja dia salah melakukan gerakan karena kaget, dipandangan setajam itu oleh Pria tersebut. Hatinya bergetar tidak karuan. Sudah lama sekali ia memperhatikan Pria ini dari kejauhan dan... hatinya mulai merasakan sesuatu yang meresahkan serta sedikit menyakitkan.

Selendang-selendang panjang berwarna hijau lembut menari-nari di udara, di antara angin-angin malam yang dingin. Ingin sekali..., dirinya berkenalan dengan Pria itu tetapi, apa daya, dia merasa malu untuk berkenalan langsung dengan salah seorang pengunjung mereka. Lagipula..., jika Pria itu punya kedudukan tinggi, apakah cintanya bisa terbalas? Ah..., gadis itu berdecak resah dalam hatinya. Ia berdoa, semoga... Pria itu berasal dari kalangan biasa saja. Namun..., sepertinya itu hal yang mustahil karena rata-rata pengunjung yang datang ke tempat ini merupakan orang-orang kalangan atas yang menyukai kesenian.

Langkah-langkah kaki kecilnya mengikuti iringan petikan kecapi yang lembut. Rambut hitamnya yang bergelombang diikat dengan rapi. Terdapat hiasan rambut emas berbentuk mirip seperti bulu merak diujungnya. Sekarang, pandangannya kembali terarah pada Pria itu. Sejenak, ia tertegun dalam kediamannya saat melihat seorang wanita bergaun merah jambu lembut duduk dengan anggun di sampingnya. Perasaannya hancur seketika ketika melihat kemesraan serta rasa kasih di antara keduanya. Sekarang..., ia sadar, bahwa dirinya... hanya mengharapkan hal yang sia-sia.

Merak-merak itu menyelesaikan tarian mereka hingga akhir. Gadis itu sendiri menahan air matanya yang sudah hampir turun ke pipinya. Ia berusaha menyelesaikan tariannya sekalipun perasaan pada hatinya membuat seluruh tubuhnya enggan untuk bergerak. Ketika musik telah selesai didendangkan dan para penari selesai menarikan tariannya, seluruh orang yang ada di tempat itu bertepuk tangan dengan wajah terkagum-kagum. Berapa kalipun mereka menyaksikan tarian ini, tetap saja rasa kagum itu tidak pernah sirna.

Selesai memberikan penghormatan kepada pengunjung, para penari itu pergi dari panggung mereka yang berupa lapangan bebas berumput dan masuk ke dalam sebuah rumah besar berukiran indah. Di sana..., pecah sudah kesedihan sang gadis. Cintanya... telah tertolak sebelum ia sempat mengutarakannya pada Pria yang disukainya.
***

Keesokan harinya....
"Pagi, Thyan...," seorang pemuda berpakaian putih dan bercelana panjang biru, mengagetkan si gadis yang tengah menjemur pakaian di belakang asramanya. Pemuda berambut hitam pendek itu muncul dari atas pohon secara tiba-tiba.

"Li...?! Kau selalu saja mengagetkanku," gadis yang bernama Thyan itu menggerutu dengan kedatangan kawannya yang merupakan anak pemilik asrama. "Apakah kau tidak bisa datang dengan mengucapkan permisi?" ia kembali menjemur baju luarnya.

"Baiklah, Nona Thyan," Li tersenyum usil. "Permisi..., apakah aku mengganggumu?" tanyanya yang jelas-jelas jawabannya sudah pasti. Ia lalu meloncat turun dari atas pohon dan membantu Thyan menjemur pakaian para penari yang lain.

"Hei...!! Ibumu akan memarahiku kalau tahu kau ikut menjemur pakaian Kakak-kakak yang lain," ia segera merebut baju yang ada di tangan Li dan menyuruh pemuda itu jauh-jauh dari dirinya.

"Ah..., santai sajalah, Thyan," Li merebut pakaian yang ada di tangan gadis itu. "Ibuku tidak akan tahu kalau kau tidak memberitahu. Lagipula, kalau beliau datang, aku bisa segera bersembunyi. Jadi..., kau tidak akan dimarahi." ujarnya dengan senyum simpul yang khas.

Thyan diam. Bicara dengan pemuda ini hanya akan menghasilkan perdebatan saja, jadi..., ia putuskan untuk membiarkan pemuda itu membantunya.

"Hari ini kau ada latihan?" tanya Li.

"Tidak ada," jawab Thyan pelan. Ia teringat kejadian malam tadi. "Kemarin pementasan, jadinya... hari ini istirahat."

"Wah..." raut wajah Li tampak senang. "Kalau begitu..., bagaimana kalau kita pergi ke pusat kota?" ajaknya. "Di sana sedang ada pasar malam, lho."

Thyan mengerutkan dahinya. "Ibumu benar-benar bisa marah padaku, Li."
***

Kamis, 28 Oktober 2010

Sayap-sayap harapan

Seorang gadis cilik berpakaian usang menengadahkan kedua tangan kecilnya di pinggir jalan. Dengan muka berdebu dan tubuh ringkihnya yang mungil, ia berjalan dari satu orang menuju ke orang lain, meminta sedikit belas kasihan dari sekelilingnya. Namun, apa daya, sedikit sekali orang yang mengulurkan tangannya untuk memberikan sekoin receh padanya.

Gadis cilik itu tertunduk lesu di tepi trotoar. Uang yang ada ditangannya sangat sedikit hingga membuat hatinya gelisah. Anak itu takut, jika ketika pulang nanti, sang Ibu akan memarahinya karena uang yang ia bawa kurang. Wajahnya menyiratkan kebingungan dalam hatinya. Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Rasanya hatinya tercabik-cabik jika mengingat pukulan atau makian kedua Orangtua yang sudah membuatnya lahir ke muka bumi ini. Air matanya berlinang di kedua bola matanya yang hitam. Tubuh kecilnya gemetar ketakutan.

Anak itu mengelap air matanya yang jatuh dengan lengan kaos usangnya. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan kembali mengemis di sekitar jalanan yang padat dengan orang-orang dewasa. Sesekali, anak itu melirik iri beberapa anak kecil yang sedang jajan sehabis pulang sekolah. Dirinya memandang kagum anak-anak berseragam itu dan merutuki dirinya sendiri yang tidak punya pengetahuan apa-apa selain mengemis. Tawa-canda anak-anak berseragam itu membuat dirinya semakin minder. Harga dirinya jatuh sedalam-dalamnya. Kedua tangannya yang semula terangkat kembali turun dan tertelungkup. Diurungkan niatnya untuk meminta-minta.

Hatinya berbisik sedih. Mengapa mereka bisa bersekolah sementara dirinya tidak? Mengapa mereka bisa membaca sedangkan dirinya tidak? Kenapa dirinya harus mengemis seperti ini? Apa yang membuat kedua Orangtuanya tidak mau menyekolahkannya? Batinnya berkecamuk hebat. Bukan keinginannya untuk lahir dari keluarga miskin yang kasar seperti ini. Bukan keinginannya untuk mempunyai kedua Orangtua yang pemarah dan sering memaki dirinya ini...?! Bukan keinginannya pula untuk menjadi pengemis dan ditertawai oleh banyak orang...!!

Anak itu terisak pelan ditengah hiruk-pikuk keramaian jalan yang padat. Air matanya menetes satu demi satu di kedua pipi mungilnya yang kotor. Ia ingin bersekolah. Ia cuma ingin bersekolah...!!!

episode 8 : Negeriku tercinta

Beberapa kali, ah, bukan tetapi... berkali-kali, saya melihat berita mengenai berbagai bencana yang terjadi di Indonesia. Sungguh, hati ini miris rasanya melihat bertubi-tubi bencana melanda negeri ini. Sejak tahun 2004 lalu, alam Indonesia seolah mengamuk pada penduduk Indonesia dan menggempur bangsa ini dengan berbagai macam masalah mengenai lingkungan. Parahnya lagi, masyarakat yang menjadi korban bencana terlihat terlantar (dalam pandangan saya dari berita di televisi).

Ya Tuhan..., mengapa begitu banyak masalah menimpa negeri ini? Belum masalah satu selesai, maslaah lain sudah datang. Apa ini merupakan suatu peringatan bagi sebagian orang-orang di antara kita? Bukankah..., jika 'orang-orang baik' diam membiarkan 'orang-orang jahat' berlaku sewenang-wenang, maka 'orang-orang baik' itu akan ikut dibinasakan bersama 'orang-orang jahat'?

Tentunya..., ada yang salah dengan negeri ini sehingga Tuhan menimpakan bencana pada bumi pertiwi ini secara terus-menerus. Tetapi, masalahnya, bagaimana kita menemukan akar permasalahan itu dan menyelesaikannya? Kawan-kawan sekalian, semoga kita bukan menjadi sebagian 'orang-orang baik' yang cuma diam hingga akhirnya ikut kena 'tumbal' gara-gara ulah segelintir orang. Bencana-bencana ini tentu ada solusinya tetapi, tergantung diri kita ini sadar atau tidak.

Kemudian, untuk para korban bencana alam, semoga mereka bisa ikhlas dan kuat menerima masalah ini. Kami, saudara-saudara sebangsamu, berusaha untuk memberikan bantuan terbaik yang bisa kami berikan supaya diri kalian bisa tetap bertahan. Bagaimanapun juga, kami pun merasa sedih atas apa yang menimpa kalian semua. Di hari sumpah pemuda ini, semoga para pemuda generasi sekarang ini ke depannya bisa menjadi generasi unggul yang akan merubah dan mengadakan pembaharuan pada Negeri ini. Dan... semoga bencana ini menyatukan kita semua dalam satu wadah yang dinamakan 'kasih-sayang bersama'.

Salam doaku untuk kalian semua,
-Cahaya Senja-

Sabtu, 23 Oktober 2010

episode 7: Lilin-lilin pustaka

Gerah nian hari ini. Tak kujumpai satupun hal yang bisa membuat rasa panas ini menjadi dingin. Lelah dan kesal karena cuaca ini, kututup mata di bawah pohon rindang besar yang ada di ujung taman. Ahh..., sejuk. Semilir angin berhembus melewati celah-celah ranting pohon yang terlihat rapuh tetapi kuat. Hemm..., rasanya begitu damai dan menenangkang. Bersandar pada sesuatu yang kokoh, menikmati kesejukan di antara sengatan sinar matahari.

Kubuka kedua mataku dan kutatap langit biru yang sesekali terhalang oleh kapas-kapas putih nan cantik. Hatiku bergumam pelan. Semuanya... terlihat indah dan menarik, ketika cahaya memantulkan sinar-sinarnya ke sekeliling benda hingga mata bisa melihat dengan jelas bentuk-bentuk benda tersebut (ehm..., itu ada di pelajaran biologi deh, kayake...). Namun, ketika malam datang, kepekatan akan kegelapan membuat semua hal yang indah ini terlihat samar, buram, bahkan terkesan jelek. Tetapi..., Tuhan tetap menganugerahi malam dengan sinar rembulannya yang lembut, sinar yang dipantulkan dari sinar matahari. Sinar yang cukup menerangi tetapi tidak membuat makhlukNya merasa gerah.

Seperti halnya siang dan malam, kebodohan dengan ilmu pun berkaitan satu sama lain. Hal yang menjadi musuh utama yaitu kebodohan diperangi oleh ilmu. Bak kegelapan dilawan oleh cahaya. Hal yang akan terus ada di muka bumi ini. Kejadian yang selalu berulang sampai hari akhir datang. Namun, sungguh sedih sekali melihat terkadang orang menyepelekan hal ini dan cenderung mengejar keuntungan semata. Ilmu..., dimanakah kau sekarang ini??

Jumat, 22 Oktober 2010

catatan 8: demonstrasi

Hmmm..., sudah lama sekali saya tidak menulis kembali di blog ini. hehehe..., lebay. beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 20 oktober, terjadi demo di berbagai daerah. Pelaku demo sendiri tak lain adalah kawan-kawan saya yang tercinta (mahasiswa di berbagai daerah). Mereka menuntut mundurnya presiden SBY dan wakilnya Budiono karena dinilai gagal menyejahterakan Indonesia. Sungguh... menggelikan!

Sejujurnya, saya salut dan bangga juga karena masih ada para mahasiswa yang mau turun ke jalan untuk mengoarkan penderitaan rakyat. Namun, di sisi lain, saya juga merasa malu atas sikap mereka yang kadang-kadang anarkis dan mau menang sendiri alias egois. Bagaimana tidak? Mereka mengoarkan penderitaan rakyat miskin tetapi mereka juga merusak sarana dan fasilitas umum juga termasuk mobil dinas. Hayooo..., sekarang jawab, fasilitas umum itu dibuat dengan uang siapa? Jelas! Uang rakyat! Lha mobil dinas, belinya pake apa? Nggak mungkin daun, dong. Jelas! Uang rakyat juga!

Nah, lho..., kalau kayak gitu, untuk apa kalian demo hanya untuk merusak dan menghambur-hamburkan uang yang diperoleh rakyat miskin secara susah-payah? Saya akan ambil contoh di sini adalah mahasiswa dari makassar -karena mereka yang paling sering demo anarkis-. Saya merasa malu, jika mempunyai kawan mahasiswa seperti mereka, dalam pengertian, mereka adalah mahasiswa, orang-orang yang terdidik dan terpelajar. Lha kok demonya serampangan kayak preman pasar begitu? Apa itu pantas disebut mahasiswa yang merupakan ujung tombak pembangungan bangsa berikutnya?

Justru..., dengan cara mereka berdemo seperti itu, masyarakat tidak akan simpati dan malah menganggap mereka sebagai perusuh. Ayolah..., kalian merupakan mahasiswa. Pasti punya cara-cara etis untuk mengungkapkan kekesalan kalian terhadap pemerintah atas kinerjanya. Kalian bukan preman pasar yang isinya cuma nakut-nakuti orang dan malak orang melulu. Kalian merupakan kaum terpelajar! Cendikiawan masa depan! Mau dibawa ke mana bangsa ini kalau kalian sebagai orang terpelajar ikut-ikutan bertindak seperti orang tidak pernah sekolah?!

Malulah pada diri kalian sendiri! Malulah pada orangtua kalian yang sudah menyekolahkan kalian mahal-mahal! Kalian dipersiapkan untuk jadi pedang yang kuat, bukan hanya sekedar pedang-pedangan yang bisa melukai orang! Dan lagi..., yang bisa merubah nasib bangsa kita cuma kita sendiri, bangsa yang tinggal di bumi pertiwi ini.

salam kedamaian
-cahaya senja-

Rabu, 13 Oktober 2010

episode 6 : diskusi 1

hmm...., mungkin terkesan agak janggal, ya, kok, judulnya diskusi ngantuk. Hal itu karena kami lakukan di malam hari. Dengan tv masih menyala, ada makanan kecil, saya dan teman-teman kost pun berbincang-bincang ringan. Awalnya, kami mengobrol tentang beasiswa di kampus. Kami membandingkan berapa besarnya beasiswa dari pihak ini atau itu. Wah, saya yang jadi pendengar cuma bisa melongo dan sesekali bilang 'oo...' ketika kawan saya menjelaskan tentang prosedur pengajuan beasiswa.

Nah, awalnya kami memang membicarakan tentang beasiswa. Tapi akhirnya kami mbahas mengenai politik. Huft...., terjadilah diskusi seru ini ketika kami melihat tayangan di salah satu channel tv yang memberitakan mengenai aksi demo yg berujung anarkis hingga polisi sempat memukul pendemo itu.

Begini, komentar kawan saya yang kuliah di fak. Hukum, 'sesalah-salahnya manusia pun, dia tetap harus diperlakukan sebagai manusia. Nggak bisa kita hukum dia seperti binatang.'

saya menimpali, 'ah, kayak gitu 'kan udah sering. Tapi, memang masyarakat kita juga sering main hakim sendiri ya? Ehm, pernah diberitakan ada 2 pelajar terlibat tawuran yang dihukum suruh berendam di kubangan lumpur.'

kawan saya, 'ih, itu cara yang nggak berpendidikan. Sekalipun dia salah, dia 'kan juga manusia, bukan binatang.'

saya diam termangu.

Bersambung...

Sabtu, 02 Oktober 2010

episode 5: Kuliah libur...

Berkali-kali alarm hp saya berbunyi. Wah..., sudah berapa kali ya? kayaknya udah lebih dari empat kali. Heemmm..., saya betul-betul kebluk sampai suara alarm sekeras itu nggak kedengaran. Selesai sholat subuh, saya pun menunggu datangnya pagi sambil leyeh-leyeh biasanya di kamar. Namun, apa mau dikata, gara-gara begadang semalaman, sekali tubuh capek kena kasur, satu menit pun sudha cukup untuk membuat mata kembali terlelap. Tahu-tahu, begitu mata terbuka, jam tangan sudha menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Waduuuh..., jenggiratan saya langsung buru-buru mandi supaya nggak telat berangkat kuliah pagi ini.
Hiks..., sebetulnya di kampus saya, sabtu dan minggu itu libur. Tapi..., karena dosennya nggak bisa dtaang di hari biasa, akhirnya... jadwalnya diganti di hari libur. (-__-"), pulang kampung pun jadi semakin jarang (T-T), huhuhu...
Ah..., udah deh. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Sekarang, kembali pada masalah kuliah. Selesai berbenah, saya pun langsung pergi ke kampus bersama sepeda motor milik orang tua saya (maklum, belum bisa beli motor sendiri). Sesampainya di kampus yang benar-benar sepi (mahasiswanya pada pulkam, sih), saya langsung buru-buru naik ke lantai 5, menuju ke tempat dosennya mengajar. Dan benar-benar deh, ternyata kelas udah masuk duluan...!! (-_-) ukh..., sial...!! lagi-lagi telat. Padahal udah dibela-belain ngebut di jalan nyampe balapan ama bis tua, eh..., tetepan aja telat. huhuhu..., semoga ini tidak menjadi kebiasaan dan hanya kebetulan terjadi...
Akhirnya..., makul Orkom (Organisasi dan ARsitektur Komputer) pun saya ikuti sekalipun awalnya nggak mudeng sama sekali. Dari sini, Pak dosen mengajarkan pada kami, bahwa CPU atau komputer itu sebenarnya bodoh. Yang menjadikan komputer dan laptop pandai itu karena perintah-perintah yang diberikan programmer pada benda ini selain itu, karena kecepatan komputasi pada saat mengeksekusi perintah. Sehingga tidak perlulah kita memikirkan bahwa pada suatu hari nanti, robot bisa jauh lebih pandai dari manusia, karena pada dasarnya, robotpun dibuat oleh manusia (lho..., saya ini ngomong apa, sih?). (^-^)
Bahasa yang digunakan pada komputer pun sebenarnya bahasa tingkat rendah. Dia hanya mengenal bilangan 1 dan 0 atau true dan false atau bisa disebut juga bilangan biner. Untuk proses komputasi pada komputer pun kita tidak bisa langsung menghitungnya. Semuanya harus diubah dulu menjadi bilangan biner.
Kalau kita, gampang aja menambahkan 2 + 3 = 5. Tapi kalau komputer, wah..., mumetnya setengah mati. bilangan 2 dan 3 itu harus diubah dulu ke bentuk biner hingga apabila dijumlahkan pun menghasilkan bilangan 5. Kata Pak dosen, komputer juga tidak mengenal pengurangan. Pengurangan ada itu menggunakan, ehmmm..., apa, ya... perintah khusus atau apa begitu, (maaf, saya lupa. (>_<")).
Wah..., mendengar penjelasan dari dosen saya, saya jadi teringat bahwa Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya. Kita diberi kecerdasaan, kemampuan dalam membedakan benar atau salah, nalar dalam berpikir, bahkan kita diberi kebebasan pula untuk berbuat. Alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan kita, manusia, tetapi kita sendiri yang merusaknya. Sering juga kita tidak bersyukur dengan apa yang diberikan Allah pada kita (Hiks... jadi ingat masa lalu). Coba kalau kita bandingkan diri kita sendiri dengan komputer? bagaimana jadinya kehidupan ini?

Tetap tersenyum dan tatap ke depan (^_^). Semangat...!!
Salam...
-Cahaya Senja-

Jumat, 01 Oktober 2010

episode 4: Yang Kusayang

Sebetulnya, aku benar-benar menyukainya
setiap hari...
aku selalu bersamanya
dia menemaniku tanpa mengeluh
diam dan membiarkan aku berbuat apa saja

Hampir tiap detik,
kusentuh tubuhnya...
kuusap dirinya
dan... sekali lagi...
dia diam saja
Bahkan, jika kami berlama-lama bersama
dia akan terasa panas, bahkan makin panas
membuat tanganku seolah terbakar dan...
jari-jariku terasa sakit

AKu menyayanginya
Aku menyukainya
karena, dia membantuku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan...
Namun...
sungguh...!!
AKu merasa jengkel jika kau berubah menjadi blue screen
Tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba kau mati begitu saja
padahal..., diriku sedang dikejar-kejar tugas dari dosen

Laptop...
jika dirimu terkena virus...
aku pun ketar-katir nyariin kamu antivirus
belum lagi kalau data di disk C-mu ada yang ilang
langsung pusing aku buat memperbaikinya
Kadang... kalau kerjamu lambat...
aku jadi ngedumel kesana-kemari
Grrr...!!
Apalagi kalau temanmu yang namanya modem error berkali-kali
Sungguh..., rasanya saya ingin menjitak kalian berulang-ulang
tapi sekali lagi...
sayang... kalau kamu dianiaya...
ntar jadinya malah KDT
alias
Kekerasan Dalam Tekhnologi
Lagipula sayang...,
ntar tentu mbetulin kamu lagi
Huuuh....


Untuk para pembuat laptop, terima kasih sudah membuat benda ini, ya. Juga para programmer yang membuat isian benda ini. DItambah lagi para pembuat virus serta antivirus (^__^).

catatan 7: etika, moral, dan akhlaq

Baru saja saya mengikuti makul agama, PAI, Pendidikan Agama Islam. Pak dosen baru saja menerangkan mengenai perbedaan serta persamaan antara moral dan akhlaq. Secara garis besar, persamaan antar keduanya adalah sama-sama mengajarkan kebaikan dan keburukan. Namun, perbedaannya adalah, moral itu relatif sementara akhlaq sendiri bersumber dari al Qur'an dan hadist.

Seseorang, dalam suatu masyarakat, bisa dikatakan tidak bermoral jika tidak mematuhi kebiasaan yg relatif dilakukan di daerah itu. Ruang lingkup moral itu sempit dalam pengertian hanya berlaku di masyarakat tertentu.

Sedangkan, orang yg berakhlaq, patokannya tetap yaitu wahyu Ilahi. Ruang lingkupnya global dan berlaku untuk keseluruhan umat. Akhlaq sendiri merupakan buah dari aqidah dan ibadah, dimana aqidah berbanding lurus dengan akhlaq.

Jadi, intinya, orang bermoral belum tentu berakhlaq, orang yang berakhlaq sudah pasti bermoral.



Salam
-cahaya senja-

Kamis, 30 September 2010

episode 3: Bunga cinta

Puisi ini... saya persembahkan untuk orang-orang yang sedang jatuh cinta. Karena melihat status di fb dimana banyak orang yang lagi kasmaran, dari merekalah saya terinspirasi untuk menulis puisi ini. (^_^)


Tuhan...
DariMu Yang Maha Indah,
Engkau ciptakan sesosok yang indah pula
darinya..., kutemukan ketenangan dalam helaan nafasku
Bersamanya, aku merasa Engkau begitu Menyayangiku
Rasa hangat yang damai, ketenangan yang mengalir bagai air
Duhai Rabb Penciptaku, bagaimana bisa kuungkapkan rasa ini?
Kau isi hatiku dengan panasnya rasa rindu yang dalam
Kau buat diriku terbuai dengan makhlukmu yang indah

Sang Pencipta Yang Maha Indah
raga yang kau ciptakan ini seolah runtuh di hadapannya
Diri ini seolah tak berarti di dekatnya
DariMu, aku memperoleh kekuatan untuk menyayanginya
Sang Maha Cinta Yang Agung,
jantung yang kau ciptakan, berdetak seiring dengan nafasnya
Salahkah jika hambamu ini mencintainya, Tuanku?
Begitu besar rasa ini padanya sampai...
cincin yang melingkar ini ingin kupertahankan erat-erat

Dalam mahligai yang Engkau ridhai...
AKu mengharapkan setitik nikmat yang tersembunyi
mengalir dalam aliran yang tenang
dingin bagai es yang menyejukkan
AKu bisa merasakan setiap kehidupan dalam diriku dan dirinya

Tuhanku Yang Maha Suci
ijinkan hambamu ini untuk mencintainya, ah tidak...
Ijinkan kami... untuk saling mencintai, Tuanku...
saling mencintai karena diriMu
Ya...
cinta yang abadi,
karena..., kami mencintaiMu


-Cahaya Senja-

catatan 6 : Harga makanan mahasiswa

Tiap pagi, seperti biasanya, hanya makan atau minum sereal -sensor-. Setelah itu, berangkat kuliah dengan tas punggung item besar yang bener-bener bisa mbuat capek punggung dan pundak. Dengan berbekal tekad membara seperti mau perang (halah, lebay...), juga berbekal rasa kantuk yang masih setengah-setengah gara-gara semalam begadang, akhirnya diriku pun pergi menuju ke kampus, tempat menimba ilmu juga sekaligus tempat mencari makan dalam pengertian, habis dikuliahi dosen terus pergi beli sarapan.
Bersama kawan-kawan tercinta yang kebaikan hatinya patut diperhatikan lebih dalam supaya benar-benar jadi sahabat yang langgeng, kami pun pergi ke warung makan dekat kampus seperti biasanya. Haaah..., setelah ambil tempat duduk, pesen makan dan minum, kemudian nunggu sampai pesanan datang.
Sambil menunggu pesanan datang, kami ngobrol satu sama lain. Entah itu ngeluh masalah materi kuliah yang bikin kepala mumet setengah mati, atau ngomongin dosennya, atau ngomongin tentang buku, bahkan... mendoan yang dikasih sambel juga ikut diomongin...!! hehehe..., setelah pesanan datang, kami pun makan dengan lahap seperti orang kelaperan. (Emang benar-benar laper kok...!!) wah..., betul-betul menikmati bener makanan ini.
Haaah..., selesai makan, kami duduk-duduk sebentar. Sesudah itu, kami pun membayar makanan masing-masing. (Maklum, belum pada gajian jadinya mbayarnya sendiri-sendiri). Begitu giliran saya membayar, saya pun nanya,
"Berapa, buk?"
"Semuanya, Rp 7500."
Waaakkss...!! Nasi, es teh, sama gorengan satu semuanya segitu?! Dengan tingkat kesulitan tinggi ketika mengambil uang di dompet (alias setengah rela, setengah nggak rela), terpaksa membayar makanan yang telah saya makan. Huhuhuhu..., uang mahasiswa 'kan pas-pasan, kenapa dikasih harga uang kantoran macam itu, Bu Bakul...

episode 2: Pak dosen...

Lift macet. Gara-gara itu, saya harus naik tangga dari lantai 1-5. Wah..., betul-betul olahraga yang menyehatkan, sampai ngos-ngosan saya menaiki anak tangga itu. Weleh..., pagi-pagi udah disuruh olahraga seperti itu, sampai kelas... dosen udah masuk lagi, (^_^"). Alhamdulillah, Pak dosen bukan tipikal dosen yang mengadakan perjanjian waktu, jadinya, mau berangkat telat pun masih dibolehin untuk masuk. Tapi...
"DOENG...!!!"
'Ng....., materi kuliah ini mbahas tentang apa, ya?' saya tertegun dengan penjelasan-penjelasan Pak dosen mengenai makul Queue. Jujur, satu jam pertama membahas tentang masalah ini, dua kata, "Saya nyerah...!!!".
Berusaha untuk mengerti sekeras mungkin tetapi pada akhirnya, 'tekluk...!! tekluk...!!' (-__-)zzzZZ...., mata sudah setengah terpejam, pikiran tidak konsentrasi, dan bawa'annya pengin tidur. Ah..., sayang sekali, saya duduk di depan, ngepasi tempat yang biasa dilihat dosennya lagi. Waduuh..., jadi serba salah. Mau memperhatikan udah nggak konsen lagi, pengin tidur takut dosennya nanyain. Hmm..., akhirnya, diputuskan mencorat-coret buku kuliah supaya tidak ngantuk.
Di akhir kuliah, seperti biasanya, 'ADT pada materi ini, dibuat tugas. Minggu depan dikumpulkan.' begitulah kata Pak dosen. Huee.... (T__T"), Waduuh..., Pak..., tugas minggu kemarin aja belum selesai dikerjakan, ini kok ditambahi tugas lagi?! Tidaaaakk...!!! Hiks...., Pak dosen memang benar-benar 'baik', saking baiknya, ngasih tugas terus sama mahasiswanya sampai mahasiswanya eneg liat yang namanya algoritma. hihihi....
Yah..., penderitaan akan dimulai kembali. SIap-siap begadang dan sakit kepala (^__^"). Semoga yang dapat tugas juga cepat kelar dan selesai.

-salam-
Cahaya Senja

Rabu, 29 September 2010

episode 1: Seandainya...

Nungguin dosen datang. Kebiasaan.... kalau nggak ngelamun mikirin tugas, yah nyabar-nyabarin perut supaya 'kelaparan tidak bertambah hebat'. Ahh..., kalau dosennya telat atau bahkan nggak masuk kelas, 'pasti' ngedumel dalam hati, "Tahu begini, nggak berangkat sekalian aja." Tapi..., kalau nggak berangkat, tanggung..., udah ngeluarin biaya buat kuliah sekalipun..., yang nanggung masih Orangtua. Hiks.. (T_T), seandainya bisa cari uang sendiri, tentu menyenangkan. Tapi..., kalau lihat orang kerja, jadi berpikir, "Ah..., seandainya jadi mahasiswa, pasti enak. Kerjaannya cuma ngerjain tugas dosen."

'Selamat datang di Dunia Perandaian...!!'

catatan 5 : Senja di kalangan masyarakat

Setiap jam 7 pagi, saya bersiap-siap berangkat kuliah. Selesai berbenah dan memakai sepatu, ambil tas, kunci motor terus ngelurin motor dari garasi. Hem..., kebetulan, saya kos di daerah perumahan dekat sebuah Universitas Negeri terkenal di jawa Tengah, sayangnya... saya nggak bisa masuk ke Universitas itu dan malah numpang lewat terus di depan kampus itu (hihihihi, (^__^)).
Sebagai seorang mahasiswa yang sering berada di rumah, kadang-kadang saya bersama mbak-mbak kost-an pergi plesiran di sekitar kota tercinta kami yang kalau siang hari, panasnya minta ampun. Yah..., biasa, hanya berbekal sepeda motor, menyusuri jalanan di ibukota provinsi jawa Tengah. Liat kiri-kanan, gedung-gedung bertingkat, hotel yang sering dilihat tiap pagi (sampai eneg rasanya gara-gara ngeliatin pemandangan yang itu-itu melulu). Kadanga..., sampai saat ini pun, kalau lihat gedung bertingkat atau rumah bertingkat yang bagus, saya langsung merasa takjub sampai geleng-geleng kepala (ih..., ndeso banget, ya).
Hahaha..., maklumlah, jatah makan masih dipasok oleh Orangtua, jadinya, kalau melihat beberapa mobil mewah lewat atau rumah-rumah yang bagus, yang muncul dalam benak saya adalah 'ckckck..., gimana caranya bisa seperti itu, ya?'. Ah..., saya malah jadi merasa malu sendiri. Tolong jangan diketawain ya (-__-"). Hmm..., satu hal yang membuat saya geleng-geleng kepala lagi adalah bahwa di depan rumah mewah dan bagus itu, ada juga sebuah rumah tapi, tidka sebesar dan sebagus rumah di depannya. Rumah itu kecil dan kelihatan kotor. Bangunannya pun sungguh.... (nggak tega saya menuliskannya).
Padahal... di Indonesia ini, banyak sekali orang kayanya. Ya iyalah, coba lihat tingkat konsumsi kita terhadap barang-barang dagangan, pasti juara deh! Ya..., kata orang-orang, Indonesia memang strategis sebagai tempat menjual barang dagangan, karena apa? Karena masyarakatnya konsumtif. Tapi, bukan masalah ini yang ingin saya utarakan. Namun, masalah antara si miskin dan si kaya. Bukan masalah yang terlalu berat tetapi hanya sebuah pertanyaan saja.
Penduduk Indonesia banyak, yang kaya banyak, yang miskin apalagi. Zakat, sadaqah, pajak, juga banyak. Lantas..., mengapa masih ada 'banyak' orang miskin di tempat kita? Kalau begini, pantaskah jika banyak 'cinderella-cinderella' di pinggir desa yang ingin disunting oleh 'pangeran-pangeran' kota besar karena desakan ekonomi? (Lho..., pertanyaan ini nyambung nggak ya (^__^"), hehehe...).

Salam
-Cahaya Senja-

Rabu, 15 September 2010

Catatan 4: desa yang berubah menjadi kota

Desa..., sebuah tempat yang selalu diidentikkan dengan ketenangan, sepi, serta 'keluguan'. Daerah di mana belum banyak gedung, kendaraan, serta berbagai fasilitas canggih. Namun, dengan segala kekurangannya, desa menjadi pilihan alternatif bagi orang-orang kota untuk kembali menyegarkan pikirannya yang suntuk akibat tekanan hidup di daerah-daerah besar, semisal Jakarta atau mungkin... Bandung atau... yang lainnya.
Tiap orang memiliki tempat kembalinya sendiri-sendiri, di mana mereka merasa nyaman berada di tempat tersebut. Jauh dari kebisingan dan hingar-bingar tekanan dunia yang mencekik leher. Mereka berkumpul bersama sanak keluarga yang telah lama tidak dijumpai. Suka duka pun muncul saat bertemu dengan saudara-saudara dari berbagai tempat. Saling berjabat-tangan dan tersenyum, kemudian bercerita sesaat untuk menumpahkan rasa rindu. Apalagi jika Orangtua yang disayangi masih hidup, tentulah kegembiraan bersama saudara-saudara akan semakin bertambah lengkap.
Berkumpul bersama keluarga memang menyenangkan sekalipun ada juga yang 'marah-marahan' dengan keluarganya sendiri. Namun saling menjaga tali silaturahim dan memupuk rasa persaudaraan memang ditekankan dalam pendidikan agama. Sekalipun banyak orang yang tanpa sadar telah memutus tali silaturahim, tetapi, banyak pula orang yang tanpa sadar menjadi penyambung tali itu. Semakin banyak saudara yang berjabat tangan dengan kita semoga... semakin banyak pula rejeki yang mengalir untuk kita...

Salam kedamaian,
^__^

Rabu, 08 September 2010

Catatan 3: Cerita tentang cinta

Terkisah, di sebuah desa kecil yang ada di pinggir kota, hiduplah seorang wanita tua bersama dengan anak perempuannya yang telah remaja. Keduanya hidup dalam kesederhanaan. Baju yang mereka miliki pun tidak begitu banyak, hanya yang melekat di pakaian dan dua potong baju lain yang digunakan untuk hadir di pertemuan-pertemuan desa.
Suatu hari, puteri si wanita tua itu meminta ijin kepada Ibunya untuk pergi ke kota guna membeli beberapa bahan kebutuhan pokok yang hampir habis. Sang Ibu yang saat itu sedang sakit, keberatan dengan permintaan putrinya. Namun, melihat barang-barang di dalam rumah sebentar lagi akan habis, terpaksalah sang Ibu memperbolehkannya. Wanita tua itu pun memberi putrinya beberapa keping uang emas dan menasehatinya,
"Anakku, pergilah ke kota tetapi, janganlah kamu di sana berlama-lama. Belilah apa yang memang perlu untuk dibeli dan janganlah kamu merasa silau jika bertemu dengan orang-orang yang indah pakaian serta wajahnya. Jaga dirimu dan segeralah pulang setelah kamu membeli apa yang kita butuhkan." pesan si Ibu, sama seperti pesan-pesan sebelumnya jika sang gadis hendak pergi ke kota.
Gadis itu cuma mengangguk dan mengiyakan ucapan Ibunya. Setelah berpamitan, gadis itu pun pergi. Sesampainya di kota, gadis itu membeli barang-barang yang diperlukan oleh dirinya dan ibunya. Selesai membeli barang-barang kebutuhan pokok, gadis itu mengurungkan niatnya untuk langsung pulang. Jarang sekali dia datang ke kota seorang diri seperti ini dan dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang begitu langka. Toh..., dia bisa berbohong pada ibunya.
Gadis itu pun pergi ke taman kota dan duduk-duduk di sana, memperhatikan keindahan kota ini. Ia memandangi orang-orang yang ada di sana, dalam hati, ia tampak begitu takjub melihat orang-orang kota yang memakai pakaian indah dan berwajah bagus, sungguh pemandangan yang sedap untuk dipandang. Gadis itu pun memandangi dirinya sendiri. Dirinya hanyalah seorang gadis desa berpakaian lusuh yang kalah jauh dibanding orang-orang kota itu. Sejenak kemudian, raut wajahnya pun menjadi sedih. Ia menginginkan keindahan yang sama seperti orang-orang kota ini.
Tak disangka,seorang pemuda memperhatikan gadis itu dari tadi. Melihat wajah si gadis yang sedih, pemuda itu tidak tahan lagi untuk bertegur-sapa dengannya. Ia pun mendekati gadis itu dan mengucapkan salam padanya. Gadis itu kaget karena disapa orang yang tidak ia kenal. Ia merasa takut dan buru-buru pergi tetapi, si pemuda mencegahnya.
"Aku tidak akan berbuat jahat padamu," ucap si pemuda itu. "Aku hanya ingin menanyakan hal yang membuatmu menjadi sedih."
Gadis itu tertegun mendengar kata-kata si pemuda. "Tuan..." ucapnya, "Maaf, saya tidak bisa berlama-lama di sini. Ibu saya menunggu kepulangan saya. Kemudian, untuk hal yang membuat saya menjadi sedih, saya rasa... Tuan tidak perlu mengetahuinya." Ia benar-benar merasa ingin pergi dari hadapan pemuda berwajah tampan ini.
"Kau tidak mempercayaiku?" si pemuda memahami kegalauan gadis itu.
"Maaf, saya harus pulang," gadis itu buru-buru pergi dari hadapannya. Namun si pemuda tetap tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Apa yang Tuan inginkan dari gadis desa seperti saya ini?" gadis itu memandang wajah pemuda itu dengan rasa kesal dalam hatinya. "Saya tidak memiliku apa-apa jika Tuan menginginkan uang saya."
"Aku tak membutuhkan uangmu," jawab pemuda itu. "Aku membutuhkan dirimu."
Gadis itu terhenyak kaget mendengar jawaban pemuda itu. Ia merasa makin terancam dan ketakutan. "Tuan... saya tidak mengenal anda dan anda pun tidak mengenal saya..."
"Karena itu..., ijinkan aku berkenalan denganmu," pemuda itu tersenyum lembut kepadanya. Hati si gadis berdesir ketika pemuda setampan itu tersenyum pada dirinya yang hanya gadis desa ini. "Apakah kau mau menemaniku berjalan-kalan di sekitar tempat ini?" tanyanya sopan.
Gadis itu terdiam sejenak. Hatinya merasa tertarik dengan pemuda ini tetapi akalnya memberitahu dia bahwa dia harus mematuhi kata-kata ibunya untuk segera pulang ke rumah. Gadis itu lalu tersenyum dan menerima ajakan pemuda itu. Mereka berdua pun bercakap-cakap di sekitar taman hingga sore menjelang. Taktala melihat matahari hampir tenggelam, gadis itu tersadar kalau ibunya tentu mengkhawatirkan dirinya. Gadis itu pun pamit untuk pulang pada si pemuda tetapi, lagi-lagi pemuda itu menahan kepergiannya.
"Kau terlihat lapar. Jarak antara desa dan kota ini tentu agak jauh. bagaimana kalau kita makan dulu sebelum kau pulang?" tawarnya.
Si gadis lagi-lagi mengiyakan ajakan pemuda itu. Mereka pun makan di sebuah rumah makan yang ada di dekat taman. Selesai makan, gadis itu pamit untuk pulang tetapi, pemuda itu menahan kepergiannya lagi.
"Kau tampak kusut dan kelelahan. Ibumu tentu khawatir jika kau terlihat seperti ini. Kita cari penginapan dulu dan kau bisa membersihkan dirimu di sana. Apakah kau setuju?" tanyanya halus.
Gadis itu tampak ragu dengan tawaran si pemuda tetapi, lagi-lagi ia mengiyakannya. Sebenarnya, di gadis juga tidak ingin berpisah dengan pemuda ini. Ia merasa hatinya telah ditawan oleh pemuda ini. Gadis itu pun mengikuti pemuda itu ke sebuah penginapan yang ada di sekitar taman.
Gadis itu lalu membersihkan dirinya di penginapan itu sedangkan si pemuda menunggunya. Selesai berbenah, gadis itu pamit tetapi..., kali ini pemuda itu tidak membiarkannya pergi. Ia mengajak gadis itu untuk bercengkrama bersama dirinya malam itu dan gadis itu pun tidak bisa menolak ajakannya. Malam telah berlalu dan esok datang, si gadis terbangun dari tidurnya dan tidak mendapati kekasihnya berada di sisinya. Tahulah dia, bahwa dia telah dibodohi oleh pemuda itu. Ia telah terbuai dengan kata-kata manis pemuda itu hingga dirinya rela menyerahkan kehormatannya pada si pemuda. Gadis itu menangis sejadi-jadinya karena ketololannya.
Akhirnya, dengan perasaan bercampur-aduk dan hati masygul, gadis itu pulang ke rumah. Ibunya menyambut kedatangannya dengan kekhawatiran yang amat sangat karena puteri semata wayangnya tak jua pulang ke rumah. Melihat wajah ibundanya, si gadis segera berlari memeluk ibunya dan menangis di pelukan wanita itu. Di dalam rumah, gadis itu menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang ibu. Menangislah sang Ibu begitu selesai mendengar cerita putrinya. Ia memeluk buah hati kesayangannya dan menangis bersama-sama dengan putrinya. Hatinya berbisik pilu dengan apa yang telah dialami oleh anaknya ini.
"Wahai putriku..." wanita tua itu berucap lirih, "Bukankah Ibu sudah berpesan padamu untuk segera pulang setelah kau membeli apa yang kita butuhkan? Mengapa kau tak mengindahkan pesan Ibu dan berlama-lama di kota itu?"
"Maafkan aku Ibu. Maafkan kesalahanku," ucap si gadis terisak.
Sang Ibu makin tak bisa menahan air matanya yang mengalir deras. "Tahukah kau anakku..., apa yang kau alami ini... pernah kualami bertahun-tahun yang lalu." ucapnya getir. "Apakah kau tahu..., bahwa dirimu pun lahir karena kesalahan Ibu yang membangkang pada nasehat Orangtua Ibu sendiri?"
Kata-kata Ibunya membuat si gadis terhenyak kaget.

catatan 2: pikiran buruk vs pikiran baik

Setiap kali akan menapaki hal baru, selalu saja banyak hal yang berputar-putar di dalam kepalaku. Dari hal remeh seperti, bagaimana nanti beradaptasi dengan lingkungan baru sampai apakah aku bisa mengerjakan dengan baik apa yang ingin aku kerjakan.
Ahh..., seperti biasanya, kebingungan disertai rasa ragu akan merayap dan memperolok-olok manusia yang punya banyak kelemahan ini. Dari kelemahan yang kecil sampai kelemahan yang besar, membuatku sendiri sampai jengah dan rasanya ingin berteriak, 'Baiklah...!! AKu memang buruk...!! Jadi..., tolong jangan ganggu aku lagi...!!'
Hmmm... memang rasanya sulit jika orang yang serba minder mau melangkah ke depan. Sebelum maju perang, dia kudu perang lawan suara-suara buruk dari dirinya sendiri supaya emosinya stabil dan perasaannya bisa ditekan. Tapi..., yang kupikirkan adalah..., apakah pikiran negatif itu bisa cepat pergi dari ingatan kita? maksudnya..., rumput tetangga tak selalu lebih hijau dari rumput di rumah kita sendiri 'kan?

Senin, 30 Agustus 2010

catatan 1 : berpikir sesuatu yg rumit

Dalam kehidupan sehari-hari, sering saya melihat hal-hal yg tidak sesuai dengan apa yg saya pikirkan. Kadang sedih rasanya menyaksikan hal tersebut. Ingin merubah tapi takut untuk bertindak. Hanya bisa diam menunggu dan pasrah, sesuatu yg sering membuatku jadi suntuk dan kesal.

Aku berpikir, 'kapan negeri ini bisa berubah, ya' 'mengapa tempat sebesar ini justru jadi ejekan dan cemohan negara lain?' 'sampai lagu kebangsaannya dihina semacam itu?'

apa yg salah dari indonesia? Sungguh ironis, melihat orang kaya banyak tapi orang miskin juga banyak. Banyak orang pandainya tapi banyak juga orang yang bodoh. Kapan negeri ini mau maju kalau keadaan dalam negeri saja nggak kondusif semacam ini? Dimanakah negeriku yg berdaulat?

Jumat, 06 Agustus 2010

Seindah Senyumanmu

Kuletakkan beberapa kuntum bunga mawar diatas gundukan tanah yang berwarna cokelat kemerahan. Kupandangi batu nisan yang tertancap diatas tanah itu.
Tak terasa, air mulai turun dari mataku. Kutengahdahkan tanganku diatas makam itu. Dan, mulai berdoa supaya orangyang berada didalam makam itu mendapatkan nikmat kubur dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selesai berdoa, aku menghapus air mataku. Lalu, seorang anak laki-laki berumur lima tahunan datang menghampiriku.
“Ayah, Ayah…!!” Anak kecil itu memanggilku dengan nada yang khas.
“Ini…” Anak kecil itu menoleh kearah makam yang ada dihadapanku.
“Ini makam siapa, yah?” dengan bola mata yang berwarna hitam kelam bagai langit dimalam hari, anak kecil itu memandangku dengan wajah polos.
Aku tersenyum saat mendengar pertanyaannya.
Kubelai rambutnya yang begitu lembut. Dan, kududukkan dia diatas pangkuanku.
“Ini adalah makam Ibu, ayah…!!” jawabku sambil memandangi makam tersebut.
“Berarti, ini adalah makam Nenek, Ridwan?” Anak itu memandangku dengan wajah ingin tahu.
Aku mengangguk.
“Ridwan tahu tidak…!! Kalau, Nenek Ridwan itu orang yang sangat baik…?!” ucapku.
“Sama seperti ibu…?” Ridwan balik bertanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Beliau adalah orang yang membuat Ayah bisa menjadi seperti ini…!!” Aku teringat kembali dengan masa laluku.
***
Tiga belas tahun yang lalu…
“Ri…!! Hari ini, kita berdua pergi ke Rumah Sakit, ya…!!” Kakak perempuanku, Laras meletakkan secangkir teh dihadapanku.
Aku terdiam ketika mendengar kata-kata Kakakku.
“KRIEET….!!”
Aku berdiri dari kursiku.
“Lho…!! Kamu mau kemana?” Kak Laras menatapku dengan wajah keheranan.
“Aku mau berangkat ke sekolah…!!” Aku mengambil tas yang kuletakkan diatas meja ruang tamu.
“Lho…?! Kamu tidak mau sarapan dulu, Ri?” Kak Laras kembali bertanya kepadaku.
“Tidak, Kak…!! Nafsu makanku sudah hilang…!!” jawabku singkat.
Kemudian, tanpa memperdulikan lagi pertanyaan maupun kata-kata dari Kak Laras, aku berjalan meninggalkan rumah dan berjalan menuju ke sekolah yang ada tidak jauh dari rumahku.
***
Setelah berjalan sekitar lima belas menitan, aku sampai didepan pintu gerbang sekolah.
Dengan perasaan malas, aku masuk ke dalam sekolah.
“Huuuh…!! Enak saja…!! Menyuruhku pergi ke Rumah Sakit untuk menemui wanita itu…!!” gerutuku dalam hati.
“Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mau menemui wanita itu…!!” tegasku dalam hati.
***
Siang Harinya…
Bel sekolah berbunyi lima kali. Itu artinya sekolah sudah usai dan anak-anak diijinkan untuk pulang.
Seperti biasa, diwaktu berangkat maupun diwaktu pulang sekolah, perasaan malas selalu saja hinggap didalam hatiku. Dan, kini saat aku akan berjalan keluar dari gerbang sekolah…
“Ri…!! Tunggu dulu…!!” Seorang perempuan berambut hitam panjang berlari kearahku.
Aku mengurungkan niatku untuk keluar dari gerbang sekolah dan menunggu perempuan itu sejenak.
“Ada apa?” tanyaku pada perempuan itu.
“Begini, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu…!!” jawab perempuan itu dengan nafas tersenggal-senggal.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanyaku lagi.
Perempuan itu menoleh kesana-kemari dan bertingkah-laku aneh dihadapanku.
“Ri…!! Kau ikut denganku sebentar, ya…!!” pinta perempuan itu.
“Kemana?” wajah berubah menjadi heran.
“Ke taman sekolah…!!” perempuan itu menunjuk sebuah taman yang ada disudut halaman sekolahku.
***
Bunga-bunga berwarna indah tumbuh dengan subur. Beberapa buah tempat duduk bercat putih menghiasi taman itu. Dan, tak luput, sebuah kolam bercat ada ditengah-tengah taman itu.
“Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan kepadaku, sih, Trid…?!” wajahku berubah menjadi penasaran.
“Sebenarnya…” Perempuan bernama Astrid itu mengambil sesuatu dari dalam tas-nya.
“Ini…!!” Astrid menyerahkan sebuah kado dengan hiasan sebuah pita berwarna merah kepadaku.
Aku menerima kado itu dengan wajah heran.
“Kau menyerahkan ini dan mau mengatakan kalau kau suka padaku?” Aku menatap Astrid dengan wajah heran.
Seketika itu juga, wajah Astrid berubah menjadi merah, entah itu karena ia malu atau yang lainnya. “SIAPA JUGA YANG MAU MENGATAKAN HAL ITU KEPADAMU….!!” Astrid berteriak tepat ditelingaku.
“NGIIING…!!” telingaku berdenging karena volume suaranya yang begitu keras.
“Siapa juga yang mau mengatakan kalau aku suka dengan anak sepertimu…” gerutu Astrid dengan wajah sebal.
“Sekalipun kau ini pandai, tapi, kau terlalu dingin dan terlalu penyendiri…!!” lanjut Astrid.
“Lagipula, aku ini ‘kan musuhmu…!! Kenapa juga aku harus suka padamu…!!” ucap Astrid dengan emosi menggebu-gebu (Astrid peringkatnya selalu no. 2 dari Ari).
“Iya…!! Iya…!! Aku tahu…!!” Aku menutup kedua telingaku sebentar.
“Kalau begitu, beri tahu aku, kenapa kau memberikan kado ini kepadaku?” Aku menunjuk kado yang ada ditanganku.
“Aku menyerahkan kado itu kepadamu atas permintaan seseorang,” jelas Astrid.
“Seseorang…?!” Aku mengulang kata-kata Astrid dengan wajah penasaran.
“Ya.” Astrid mengangguk. “Orang itu, memintaku untuk memberikan kado ini kepadamu, Dan…”
***
Kini, Aku dan Astrid berjalan menuju sebuah gedung yang ada tidak jauh dari Sekolahku. Langkah kakiku terhenti saat tiba didepan pintu gerbang gedung bercat putih dan berlantai empat itu. Aku teringat kembali dengan orang yang sudah melukai hatiku ketika aku berumur sepuluh tahun.
“Huuh…!! Kenapa, aku jadi teringat masa lalu…?!” gerutuku dalam hati.
Kemudian, aku masuk ke dalam gedung itu. Banyak orang berlalu-lalang di dalam gedung itu. Dilihat dari wajah mereka, mereka tampak begitu sibuk karena, harus mengurusi ini-itu. Dan, setiap langkah, aku masuk ke dalam gedung itu, ingatan-ingatan dimasa lalu terbayang dihadapanku.
Mulai saat dipukul, karena telah mencuri. Dijewer karena sudah berkata yang tidak-tidak. Hanya boleh makan nasi dengan telur selama satu hari penuh, karena aku mendapat nilai jelek dalam ulangan. Lalu, yang paling penting, aku pernah dihukum harus mengerjakan latihan-latihan soal selama tiga jam penuh, hanya karena, keasyikan Nonton TV dan melalaikan Shalat Ashar.
Hukuman-hukuman yang terus aku jalani karena kesalahan yang kulakukan, hingga umurku empat belas tahun, membuatku menjadi seorang anak yang dingin dan penyendiri. Tidak suka terlalu banyak bicara dan selalu terkesan sombong.
Tetapi, ketika aku berpikir-pikir kembali, ada benarnya juga jika aku dihukum. Namun, aku tetap tidak terima jika harus diperlakukan seperti itu. Rasa egois dan harga diri yang terlalu tinggi membuatku sulit untuk memaafkan seseorang. Dan, terkadang, perasaan itulah yang membuatku menderita hingga saat ini.
“Sudah sampai,” Astrid menghentikan langkah kakinya saat tiba disebuah kamar.
“Ini ‘kan…” wajahku berubah saat melihat nomor kamar itu.
“Ayo, kita masuk, Ri…!!” Astrid menarik tanganku.
“CKLEK…!!”
Saat kami berdua masuk, seluruh pandangan orang yang ada didalam ruangan itu teruju kepada kehadiran kami berdua. Sementara itu, pandanganku tertuju kepada seorang wanita berwajah pucat yang kini sedang terbaring lemah dengan jarum infuse yang menusuk kulitnya yang berwarna cokelat dan sebuah selang pernafasan ada dihidungnya.
Wanita itu tersenyum saat melihat kedatanganku. Namun, aku mengalihkan pandanganku kearah lain dengan wajah muram. Melihat wajahku yang seperti itu, wanita itu menjadi sedih.
“Ri…!! Dia adalah orang yang membuatkan kado itu,” ucap Astrid dengan nada lembut.
Aku terdiam mendengar kata-kata Astrid. Dan, tanpa pikir panjang, kulempar kado itu diatas lantai.
“Ari…!!” orang-orang yang ada didalam ruangan itu begitu kaget saat melihat sikapku.
Aku hanya diam saat melihat pandangan-pandangan dari orang-orang itu. Dan, saat aku akan meninggalkan ruangan itu…
“A…Ariii…” wanita itu memanggilku dengan nada lemah.
Aku menghentikan langkah kakiku saat mendengar panggilannya.
Air mulai mengalir dari mata wanita berwajah pucat itu. Wanita yang berusia sekita tiga puluh lima tahunan itu, kini menangis seorang diri diatas tempat tidur.
“Ma…Maafkan ibu…!! Walaupun, mungkin kau tidak mau memaafkan Ibu tirimu ini…!!” ucap wanita itu dengan suara lirih.
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya. Emosiku mulai meledak saat mendengar kata-katanya barusan.
“Ari…!!” Astrid memanggilku dengan nada tegas.
Aku menoleh kearahnya dan memandangnya dengan mata penuh emosi. Lalu…
“PLAAK…!!!!”
Astrid menamparku dengan begitu keras. Orang-orang yang ada di ruangan itu tambah terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Astrid.
“Kau benar-benar orang yang Dzalim…!!” ucapan Astrid terdengar begitu tajam ditelingaku.
Aku terdiam mendengar kata-katanya.
“Apakah, kau ingin menjadi anak yang durhaka…?! Apakah kau benar-benar ingin menjadi orang yang dimurkai Tuhan karena telah membenci orang tuamu sendiri…?!” pertanyaan yang begitu tajam keluar dari mulut Astrid.
Aku diam tak menjawab. Kupalingkan wajahku dari tatapan Astrid.
“Astrid. Sudah..., jangan berbuat seperti itu kepada Ari…” wanita lemah itu berusaha mencegah Astrid untuk memarahiku, lewat kata-kata.
“Jika, tidak diperlakukan seperti ini, dia benar-benar akan menjadi anak yang durhaka, Bi…?! Apakah, Bibi menginginkan hal itu?” tanya Astrid dengan suara agak halus.
Wanita itu terdiam mendengar kata-kata Astrid. Wajahnya tampak begitu sedih.
“Sekarang, minta maaflah kepada ibumu…!!” perintah Astrid.
“Dia bukan Ibuku…!!” ucapku dengan suara pelan.
“Deg…!!”
Jantung wanita itu berdetak sangat kencang ketika mendengar kata-kataku barusan.
“Dia hanya orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah denganku…!!” ucapku dengan tegas.
“Ari…!!” Kak Laras, Ayah, saudara-saudaraku dan Astrid begitu terkejut ketika mendengar ucapanku, termasuk wanita itu.
“Agh…!!” tiba-tiba saja wanita itu mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya, tempat dimana sebuah organ tubuh manusia yang begitu penting, terasa sakit.
Wanita itu mulai kesulitan untuk bernafas. Keringat bercucuran dari dahinya. Dan, dia tampak begitu kesakitan. Melihat keadaan seperti itu, Ayahku, Kak Laras dan saudara-saudaraku menjadi panik. Mereka kemudian memanggil Dokter yang menangani penyakit wanita itu. Sementara itu, aku hanya bisa diam terpaku ketika melihat dokter sibuk memeriksa keadaan wanita itu.
“Sama…!! Sama seperti waktu itu…!!” seluruh badanku gemetar ketakutan ketika melihat bayangan masa laluku kembali.
Saat itu, Ibuku dirawat dirumah sakit. Penyakit Ibuku awalnya hanya karena diabetes, namun, hal itu berlanjut hingga akhirnya, beliau mengalami komplikasi pada jantung dan hatinya. Disaat-saat terakhir, aku mendengar dari mulut Ayah sendiri dari balik pintu kamar Ibu, bahwa Ayah akan menikah dengan wanita itu. Dan, setelah itu, Ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Hari sudah mulai malam, namun, operasi masih belum selesai. Kami semua menuggui wanita itu diluar ruang operasi. Dan, entah kenapa, tiba-tiba saja perasaanku mendadak menjadi sakit seperti ditusuk-tusuk oleh pisau.
“Ari…!!” Ayah kini berdiri dihadapanku. “Ada yang ingin Ayah bicarakan padamu.”
***
“Apa yang ingin Ayah bicarakan kepadaku?” Kini, aku bersama dengan Ayah ada diatap beranda rumah sakit, lantai empat.
Ayah terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. Beliau memandang langit malam yang berwarna hitam pekat. “Umurmu sudah enam belas tahun. Itu berarti, kau sudah cukup umur untuk mendengarkan cerita ini.”
Aku terheran-heran saat mendengar kata-kata Ayah.
“Sebenarnya…” raut wajah Ayah terlihat begitu sedih. Sorot matanya tampak sedih sekaligus berat. “Kau bukan puteraku,” ujarnya pelan.
***
“DRAP…DRAP…DRAP…!!”
Aku berlari dengan begitu kencang menuju ke lantai satu. Air mengalir dari mataku saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya mengenai siapa sebenarnya diriku ini.
“Ri…!! Sebenarnya, kau adalah putera dari Wiwin, orang yang saat ini paling kau benci dengan Rio, teman dekatku.”
Aku terus saja berlari tanpa memperhatikan orang yang berlalu lalang disekitarku.
“Saat itu, umurmu baru enam bulan…!! Dan, kedua orang tuamu bekerja sebagai seorang peneliti…” Ayah mengingat kembali kejadian itu.
“Suatu hari, kedua orang tuamu harus pergi ke Irian Jaya untuk untuk menyelidiki sesuatu. Mereka berdua, tidak tega membawamu ikut serta dalam perjalanan dinas itu, dan akhirnya mereka menitipkanmu kepada kami.”

“BRUUKK…!!”
Tanpa sengaja, aku menabrak seorang perawat yang lewat didepanku.
“Ma…Maaf…!!” setelah berkata seperti itu, aku berlari menuju kearah tangga lantai tiga.
“Namun, sayang.., sebelum sampai di tempat tujuan, pesawat yang ditumpangi kedua orang tuamu mengalami kecelakaan. Ayahmu meninggal dan Ibumu mengalami luka parah.”
“Bisa-bisanya, aku membenci Ibu kandungku sendiri…!!” hatiku menjerit kesakitan karena, sikapku yang begitu menyakiti ibuku sendiri.
“Awalnya, saat umurmu lima tahun, Ayah ingin memberitahukan tentang hal ini kepadamu, tetapi, Ibu Laras melarangnya. Ia mengatakan, bahwa kau masih belum cukup siap untuk diberitahu tentang hal ini.”
Kata-kata Ayah tadi, terus membayangi pikiranku.
“Aku mengalah dan menunggu beberapa tahun lagi untuk mengatakan hal ini kepadamu. Namun, takdir memang sulit untuk ditebak…” Ayah menghentikan kata-katanya sejenak.
“Ibu Laras akhirnya memintaku untuk menikah dengan ibumu disaat-saat terakhir. Saat aku mengatakan bersedia untuk menikah dengan ibumu, kau mungkin mendengarnya dari balik pintu kamar Ibu Laras.”

Aku terus saja berlari dengan perasaan menyesal.
“Ternyata, Ibumu memintaku untuk merahasiakan bahwa sebenarnya kau adalah puteranya. Dan, semenjak Ibumu menjadi istri Ayah, dia mulai memberi ajaran-ajaran yang bisa dikatakan keras kepadamu.”
“Hal itu dilakukannya, supaya kamu menjadi orang yang disiplin, orang yang selalu berbuat jujur dan orang yang bertakwa kepada Tuhan…!!”
“Aku memang benar-benar anak yang durhaka…!!”
ucapku dalam hati.
“Sekalipun, semua perbuatan yang dilakukan ibumu itu, mengakibatkan kau membencinya...” Kata-kata terakhir dari Ayah tadi membuatku sadar dari kekeliruanku selama ini.
“Hosh…Hosh…Hosh…!!”
Kini, aku berada di depan pintu ruang Operasi. Kulihat, lampu di ruang Operasi sudah tidak menyala lagi.
“Ri…!!” Astrid berdiri dibelakangku.
Aku menoleh kearah Astrid.
“As, di mana Ibuku?” Aku langsung bertanya seperti itu kepada Astrid.
“Ibumu…Ibumu…” Astrid tak dapat melanjutkan kata-katanya. Air mengalir dari bola matanya yang berwarna cokelat seperti warna tanah.
“Ti…Tidak mungkin…” badanku gemetar saat melihat air matanya.
Kemudian, Astrid menunjuk ke sebuah ruangan yang tak lain adalah ruang ICU. Setelah melihat ruangan yang ia tunjuk, aku langung berlari menuju ruangan itu. Kemudian, saat tiba didepan pintu ruangan itu, aku berhenti berlari dan membuka pintu ruangan itu pelan-pelan.
“TUUT…TUUUT…TUUUT…!!”
Detak jantung ibuku terdengar begitu lemah.
Kututup pintu ruangan itu dan kudekati ibuku pelan-pelan. Air mataku mengalir dengan begitu deras saat melihat kondisinya yang memprihatinkan. Kemudian, aku duduk disebuah kursi yang ada disamping tempat tidurnya.
“Ibu…!!” Aku menggenggam dengan erat tangan Ibuku yang begitu hangat. Air mata yang mengalir dengan deras semakin keluar dengan begitu deras saat menyentuh tangan ibu kandungku sendiri.
“Ng…!!” Aku merasakan jari-jari tangan ibuku bergerak.
Beliau membuka matanya. Dan, saat melihatku, beliau tersenyum senang. “A…Akhirnya, kau mau mengakui ibumu ini, Nak..” ucap Ibuku dengan suara pelan.
“Ma…Maafkan Ari, Bu…!! Maafkan kesalahan Ari selama ini, Bu…!!” aku menangis tersedu-sedu di hadapan Ibuku.
Ibuku tersenyum mendengar permintaan maafku. “Ibu sudah memaafkanmu, Ri…” jemari-jemarinya yang lemah mengusap rambut hitamku yang pendek. “Ibu sudah memaafkan semua kesalahanmu.” Lanjutnya pelan dengan suara seperti berbisik.
“TUUUUTTT...!!”
Tangan Ibu yang tadi kugenggam dengan erat jatuh ke tempat tidur. Kini, suara detak jantungnya sudah tidak terdengar lagi.
Aku ternganga ketika tak lagi merasakan usapannya. Jari-jari yang lemah itu kini jatuh di atas tempat tidur. “Ti…Tidak…” Aku tidak percaya dengan pemandangan yang kulihat saat ini. “Ini tidak mungkin…!!” kedua kakiku terasa lemas hingga aku terduduk diatas lantai rumah sakit yang dingin.
Penyesalan yang luar biasa masuk ke dalam hatiku. Air mengalir dari mataku seolah menggantikan penyesalan yang hingga di hati ini.
***
“Yah…!!” anak kecil yang duduk diatas pangkuanku membuyarkanku dari ingatan masa lalu.
“Kita pulang, yuk…!! Ibu pasti sudah menunggu di rumah…!!” anak itu mengajakku untuk pulang.
Aku mengangguk mendengar kata-kata anak kecil itu. Kemudian, aku beranjak pergi dari makam itu bersama dengan Ridwan.
“WHUUSSS…!!”
Angin berhembus dengan lembut di sekitarku. Kuhentikan langkah kakiku sejenak. Kemudian, aku menoleh ke arah makam itu lagi.
“Ayah…!!” Anak kecil itu menarik-narik lengan bajuku. Dia sudah tidak sabar lagi untuk pulang ke rumah.
“Iya…Iya…!!” Kuturuti kemauan anak itu.
Dan, kami berdua meninggalkan Tempat pemakaman itu. Tempat dimana seseorang yang telah mendidikku beristirahat dengan tenang di Alam sana.
Hembusan angin lembut menerpa dedaunan berwarna hijau disekitar jalan. Ranting-ranting kecil berwarna cokelat berayun-ayun seolah mengatakan selamat jalan.

Senin, 26 Juli 2010

Untuk saudaraku...

Aku memandangimu dari jauh
dengan perasaan sedih bercampur sakit
Melihatmu meracau dalam kesadaran,
aku ingin menangis menggantikan dirimu yang bersedih
Kau adalah saudaraku
Orang yang kuanggap paling penting
Mengapa kau siksa dirimu seperti ini?
Mengapa kau buat hidupmu hancur seperti ini?
Mungkin...,
kau tak peduli dengan kehidupanmu lagi
Tetapi, aku peduli padamu
Aku tak ingin melihatmu hancur
AKu tak ingin melihatmu makin terbebani
Aku menyayangimu...
Aku... ingin sekali melihatmu tertawa seperti dulu

jepara, 26 Juli 2010

Senin, 05 Juli 2010

Terperosok dalam Kubangan Hitam

Alkisah..., ada seorang gadis kecil berumur sekitar delapan tahunan yang bertetangga agak jauh dari seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun. Gadis cilik ini memiliki rambut pendek sebahu dan bermata bulat. Saat berangkat ataupun pulang dari sekolah, anak kecil ini biasa melewati rumah anak laki-laki itu. Terkadang, dengan kedua mata hitamnya, ia melihat sekilas ke arah si anak laki-laki yang kadang-kadang sedang duduk-duduk membaca buku di teras rumah.
Suatu hari, Ayah si anak kecil itu membelikannya sebuah sepeda baru. Anak itu senang bukan main mendapat sepeda baru itu. Ia dan seorang sahabatnya lalu sering bersepeda keliling kampung menaiki sepeda barunya. Anak itu juga akhirnya sering bolak-balik melewati depan rumah si anak laki-laki yang disukainya sampai anak laki-laki itu merasa jengah karena merasa diawasi oleh bocah kecil itu. Puncak dari kejengahannya adalah di waktu maghrib setelah dia berangkat ke masjid.
Anak perempuan itu beberpaa kali bolak-balik lewat di depan masjid bersama kawannya dengan menaiki sepeda. Harapannya cuma satu, bisa melihat anak laki-laki itu. Akhirnya..., selesai sholat maghrib, anak laki-laki itu menunggu kedatangan si bocah di depan rumah imam masjid. Kebetulan, si bocah perempuan itu datang dari arah berlawanan dengan anak itu. Si anak laki-laki itu mencegatnya langsung. Boch itu jadi merasa gugup dan nggak bisa memegang kendali sepedanya. Lalu....
"WIIING.....!!! SYUUTT....!!! BYUURR....!!!"
bocah itu beserta kawannya plus sepeda baru dari si Ayah, langsung terbang dan mendarat di atas selokan besar yang ada di samping jalan. Si anak laki-laki itu langsung kabur melihat bocah itu kecemplung ke dalam got. Kawan si bocah menangis keras gara-gara sebelah sandalnya hilang. Anak perempuan itu sendiri cuma diam dengan badan belepotan lumpur hitam dan sampah daun.
ck...ck..ck..., orang-orang langsung menolongi mereka dan membantu anak-anak kecil itu untuk keluar dari dalam got. Si anak perempuan itu lalu langsung pulang ke rumah. Kedua orangtuanya melongo kaget melihatnya jadi hitam legam dan bau seperti itu. Dia langsung dimandikan sebersih-bersihnya dan sepedanya juga dibersihkan sebersih mungkin.
Wajah anak itu tampak cemberut dan sebal. Sejak kejadian itu, ia jadi ingin mengumpati anak laki-laki itu. Ia jadi sebal padanya dan akhirnya... sampai sekarang... ia tidak pernah bertegur sapa dengan anak laki-laki itu.