Kamis, 30 September 2010

episode 3: Bunga cinta

Puisi ini... saya persembahkan untuk orang-orang yang sedang jatuh cinta. Karena melihat status di fb dimana banyak orang yang lagi kasmaran, dari merekalah saya terinspirasi untuk menulis puisi ini. (^_^)


Tuhan...
DariMu Yang Maha Indah,
Engkau ciptakan sesosok yang indah pula
darinya..., kutemukan ketenangan dalam helaan nafasku
Bersamanya, aku merasa Engkau begitu Menyayangiku
Rasa hangat yang damai, ketenangan yang mengalir bagai air
Duhai Rabb Penciptaku, bagaimana bisa kuungkapkan rasa ini?
Kau isi hatiku dengan panasnya rasa rindu yang dalam
Kau buat diriku terbuai dengan makhlukmu yang indah

Sang Pencipta Yang Maha Indah
raga yang kau ciptakan ini seolah runtuh di hadapannya
Diri ini seolah tak berarti di dekatnya
DariMu, aku memperoleh kekuatan untuk menyayanginya
Sang Maha Cinta Yang Agung,
jantung yang kau ciptakan, berdetak seiring dengan nafasnya
Salahkah jika hambamu ini mencintainya, Tuanku?
Begitu besar rasa ini padanya sampai...
cincin yang melingkar ini ingin kupertahankan erat-erat

Dalam mahligai yang Engkau ridhai...
AKu mengharapkan setitik nikmat yang tersembunyi
mengalir dalam aliran yang tenang
dingin bagai es yang menyejukkan
AKu bisa merasakan setiap kehidupan dalam diriku dan dirinya

Tuhanku Yang Maha Suci
ijinkan hambamu ini untuk mencintainya, ah tidak...
Ijinkan kami... untuk saling mencintai, Tuanku...
saling mencintai karena diriMu
Ya...
cinta yang abadi,
karena..., kami mencintaiMu


-Cahaya Senja-

catatan 6 : Harga makanan mahasiswa

Tiap pagi, seperti biasanya, hanya makan atau minum sereal -sensor-. Setelah itu, berangkat kuliah dengan tas punggung item besar yang bener-bener bisa mbuat capek punggung dan pundak. Dengan berbekal tekad membara seperti mau perang (halah, lebay...), juga berbekal rasa kantuk yang masih setengah-setengah gara-gara semalam begadang, akhirnya diriku pun pergi menuju ke kampus, tempat menimba ilmu juga sekaligus tempat mencari makan dalam pengertian, habis dikuliahi dosen terus pergi beli sarapan.
Bersama kawan-kawan tercinta yang kebaikan hatinya patut diperhatikan lebih dalam supaya benar-benar jadi sahabat yang langgeng, kami pun pergi ke warung makan dekat kampus seperti biasanya. Haaah..., setelah ambil tempat duduk, pesen makan dan minum, kemudian nunggu sampai pesanan datang.
Sambil menunggu pesanan datang, kami ngobrol satu sama lain. Entah itu ngeluh masalah materi kuliah yang bikin kepala mumet setengah mati, atau ngomongin dosennya, atau ngomongin tentang buku, bahkan... mendoan yang dikasih sambel juga ikut diomongin...!! hehehe..., setelah pesanan datang, kami pun makan dengan lahap seperti orang kelaperan. (Emang benar-benar laper kok...!!) wah..., betul-betul menikmati bener makanan ini.
Haaah..., selesai makan, kami duduk-duduk sebentar. Sesudah itu, kami pun membayar makanan masing-masing. (Maklum, belum pada gajian jadinya mbayarnya sendiri-sendiri). Begitu giliran saya membayar, saya pun nanya,
"Berapa, buk?"
"Semuanya, Rp 7500."
Waaakkss...!! Nasi, es teh, sama gorengan satu semuanya segitu?! Dengan tingkat kesulitan tinggi ketika mengambil uang di dompet (alias setengah rela, setengah nggak rela), terpaksa membayar makanan yang telah saya makan. Huhuhuhu..., uang mahasiswa 'kan pas-pasan, kenapa dikasih harga uang kantoran macam itu, Bu Bakul...

episode 2: Pak dosen...

Lift macet. Gara-gara itu, saya harus naik tangga dari lantai 1-5. Wah..., betul-betul olahraga yang menyehatkan, sampai ngos-ngosan saya menaiki anak tangga itu. Weleh..., pagi-pagi udah disuruh olahraga seperti itu, sampai kelas... dosen udah masuk lagi, (^_^"). Alhamdulillah, Pak dosen bukan tipikal dosen yang mengadakan perjanjian waktu, jadinya, mau berangkat telat pun masih dibolehin untuk masuk. Tapi...
"DOENG...!!!"
'Ng....., materi kuliah ini mbahas tentang apa, ya?' saya tertegun dengan penjelasan-penjelasan Pak dosen mengenai makul Queue. Jujur, satu jam pertama membahas tentang masalah ini, dua kata, "Saya nyerah...!!!".
Berusaha untuk mengerti sekeras mungkin tetapi pada akhirnya, 'tekluk...!! tekluk...!!' (-__-)zzzZZ...., mata sudah setengah terpejam, pikiran tidak konsentrasi, dan bawa'annya pengin tidur. Ah..., sayang sekali, saya duduk di depan, ngepasi tempat yang biasa dilihat dosennya lagi. Waduuh..., jadi serba salah. Mau memperhatikan udah nggak konsen lagi, pengin tidur takut dosennya nanyain. Hmm..., akhirnya, diputuskan mencorat-coret buku kuliah supaya tidak ngantuk.
Di akhir kuliah, seperti biasanya, 'ADT pada materi ini, dibuat tugas. Minggu depan dikumpulkan.' begitulah kata Pak dosen. Huee.... (T__T"), Waduuh..., Pak..., tugas minggu kemarin aja belum selesai dikerjakan, ini kok ditambahi tugas lagi?! Tidaaaakk...!!! Hiks...., Pak dosen memang benar-benar 'baik', saking baiknya, ngasih tugas terus sama mahasiswanya sampai mahasiswanya eneg liat yang namanya algoritma. hihihi....
Yah..., penderitaan akan dimulai kembali. SIap-siap begadang dan sakit kepala (^__^"). Semoga yang dapat tugas juga cepat kelar dan selesai.

-salam-
Cahaya Senja

Rabu, 29 September 2010

episode 1: Seandainya...

Nungguin dosen datang. Kebiasaan.... kalau nggak ngelamun mikirin tugas, yah nyabar-nyabarin perut supaya 'kelaparan tidak bertambah hebat'. Ahh..., kalau dosennya telat atau bahkan nggak masuk kelas, 'pasti' ngedumel dalam hati, "Tahu begini, nggak berangkat sekalian aja." Tapi..., kalau nggak berangkat, tanggung..., udah ngeluarin biaya buat kuliah sekalipun..., yang nanggung masih Orangtua. Hiks.. (T_T), seandainya bisa cari uang sendiri, tentu menyenangkan. Tapi..., kalau lihat orang kerja, jadi berpikir, "Ah..., seandainya jadi mahasiswa, pasti enak. Kerjaannya cuma ngerjain tugas dosen."

'Selamat datang di Dunia Perandaian...!!'

catatan 5 : Senja di kalangan masyarakat

Setiap jam 7 pagi, saya bersiap-siap berangkat kuliah. Selesai berbenah dan memakai sepatu, ambil tas, kunci motor terus ngelurin motor dari garasi. Hem..., kebetulan, saya kos di daerah perumahan dekat sebuah Universitas Negeri terkenal di jawa Tengah, sayangnya... saya nggak bisa masuk ke Universitas itu dan malah numpang lewat terus di depan kampus itu (hihihihi, (^__^)).
Sebagai seorang mahasiswa yang sering berada di rumah, kadang-kadang saya bersama mbak-mbak kost-an pergi plesiran di sekitar kota tercinta kami yang kalau siang hari, panasnya minta ampun. Yah..., biasa, hanya berbekal sepeda motor, menyusuri jalanan di ibukota provinsi jawa Tengah. Liat kiri-kanan, gedung-gedung bertingkat, hotel yang sering dilihat tiap pagi (sampai eneg rasanya gara-gara ngeliatin pemandangan yang itu-itu melulu). Kadanga..., sampai saat ini pun, kalau lihat gedung bertingkat atau rumah bertingkat yang bagus, saya langsung merasa takjub sampai geleng-geleng kepala (ih..., ndeso banget, ya).
Hahaha..., maklumlah, jatah makan masih dipasok oleh Orangtua, jadinya, kalau melihat beberapa mobil mewah lewat atau rumah-rumah yang bagus, yang muncul dalam benak saya adalah 'ckckck..., gimana caranya bisa seperti itu, ya?'. Ah..., saya malah jadi merasa malu sendiri. Tolong jangan diketawain ya (-__-"). Hmm..., satu hal yang membuat saya geleng-geleng kepala lagi adalah bahwa di depan rumah mewah dan bagus itu, ada juga sebuah rumah tapi, tidka sebesar dan sebagus rumah di depannya. Rumah itu kecil dan kelihatan kotor. Bangunannya pun sungguh.... (nggak tega saya menuliskannya).
Padahal... di Indonesia ini, banyak sekali orang kayanya. Ya iyalah, coba lihat tingkat konsumsi kita terhadap barang-barang dagangan, pasti juara deh! Ya..., kata orang-orang, Indonesia memang strategis sebagai tempat menjual barang dagangan, karena apa? Karena masyarakatnya konsumtif. Tapi, bukan masalah ini yang ingin saya utarakan. Namun, masalah antara si miskin dan si kaya. Bukan masalah yang terlalu berat tetapi hanya sebuah pertanyaan saja.
Penduduk Indonesia banyak, yang kaya banyak, yang miskin apalagi. Zakat, sadaqah, pajak, juga banyak. Lantas..., mengapa masih ada 'banyak' orang miskin di tempat kita? Kalau begini, pantaskah jika banyak 'cinderella-cinderella' di pinggir desa yang ingin disunting oleh 'pangeran-pangeran' kota besar karena desakan ekonomi? (Lho..., pertanyaan ini nyambung nggak ya (^__^"), hehehe...).

Salam
-Cahaya Senja-

Rabu, 15 September 2010

Catatan 4: desa yang berubah menjadi kota

Desa..., sebuah tempat yang selalu diidentikkan dengan ketenangan, sepi, serta 'keluguan'. Daerah di mana belum banyak gedung, kendaraan, serta berbagai fasilitas canggih. Namun, dengan segala kekurangannya, desa menjadi pilihan alternatif bagi orang-orang kota untuk kembali menyegarkan pikirannya yang suntuk akibat tekanan hidup di daerah-daerah besar, semisal Jakarta atau mungkin... Bandung atau... yang lainnya.
Tiap orang memiliki tempat kembalinya sendiri-sendiri, di mana mereka merasa nyaman berada di tempat tersebut. Jauh dari kebisingan dan hingar-bingar tekanan dunia yang mencekik leher. Mereka berkumpul bersama sanak keluarga yang telah lama tidak dijumpai. Suka duka pun muncul saat bertemu dengan saudara-saudara dari berbagai tempat. Saling berjabat-tangan dan tersenyum, kemudian bercerita sesaat untuk menumpahkan rasa rindu. Apalagi jika Orangtua yang disayangi masih hidup, tentulah kegembiraan bersama saudara-saudara akan semakin bertambah lengkap.
Berkumpul bersama keluarga memang menyenangkan sekalipun ada juga yang 'marah-marahan' dengan keluarganya sendiri. Namun saling menjaga tali silaturahim dan memupuk rasa persaudaraan memang ditekankan dalam pendidikan agama. Sekalipun banyak orang yang tanpa sadar telah memutus tali silaturahim, tetapi, banyak pula orang yang tanpa sadar menjadi penyambung tali itu. Semakin banyak saudara yang berjabat tangan dengan kita semoga... semakin banyak pula rejeki yang mengalir untuk kita...

Salam kedamaian,
^__^

Rabu, 08 September 2010

Catatan 3: Cerita tentang cinta

Terkisah, di sebuah desa kecil yang ada di pinggir kota, hiduplah seorang wanita tua bersama dengan anak perempuannya yang telah remaja. Keduanya hidup dalam kesederhanaan. Baju yang mereka miliki pun tidak begitu banyak, hanya yang melekat di pakaian dan dua potong baju lain yang digunakan untuk hadir di pertemuan-pertemuan desa.
Suatu hari, puteri si wanita tua itu meminta ijin kepada Ibunya untuk pergi ke kota guna membeli beberapa bahan kebutuhan pokok yang hampir habis. Sang Ibu yang saat itu sedang sakit, keberatan dengan permintaan putrinya. Namun, melihat barang-barang di dalam rumah sebentar lagi akan habis, terpaksalah sang Ibu memperbolehkannya. Wanita tua itu pun memberi putrinya beberapa keping uang emas dan menasehatinya,
"Anakku, pergilah ke kota tetapi, janganlah kamu di sana berlama-lama. Belilah apa yang memang perlu untuk dibeli dan janganlah kamu merasa silau jika bertemu dengan orang-orang yang indah pakaian serta wajahnya. Jaga dirimu dan segeralah pulang setelah kamu membeli apa yang kita butuhkan." pesan si Ibu, sama seperti pesan-pesan sebelumnya jika sang gadis hendak pergi ke kota.
Gadis itu cuma mengangguk dan mengiyakan ucapan Ibunya. Setelah berpamitan, gadis itu pun pergi. Sesampainya di kota, gadis itu membeli barang-barang yang diperlukan oleh dirinya dan ibunya. Selesai membeli barang-barang kebutuhan pokok, gadis itu mengurungkan niatnya untuk langsung pulang. Jarang sekali dia datang ke kota seorang diri seperti ini dan dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang begitu langka. Toh..., dia bisa berbohong pada ibunya.
Gadis itu pun pergi ke taman kota dan duduk-duduk di sana, memperhatikan keindahan kota ini. Ia memandangi orang-orang yang ada di sana, dalam hati, ia tampak begitu takjub melihat orang-orang kota yang memakai pakaian indah dan berwajah bagus, sungguh pemandangan yang sedap untuk dipandang. Gadis itu pun memandangi dirinya sendiri. Dirinya hanyalah seorang gadis desa berpakaian lusuh yang kalah jauh dibanding orang-orang kota itu. Sejenak kemudian, raut wajahnya pun menjadi sedih. Ia menginginkan keindahan yang sama seperti orang-orang kota ini.
Tak disangka,seorang pemuda memperhatikan gadis itu dari tadi. Melihat wajah si gadis yang sedih, pemuda itu tidak tahan lagi untuk bertegur-sapa dengannya. Ia pun mendekati gadis itu dan mengucapkan salam padanya. Gadis itu kaget karena disapa orang yang tidak ia kenal. Ia merasa takut dan buru-buru pergi tetapi, si pemuda mencegahnya.
"Aku tidak akan berbuat jahat padamu," ucap si pemuda itu. "Aku hanya ingin menanyakan hal yang membuatmu menjadi sedih."
Gadis itu tertegun mendengar kata-kata si pemuda. "Tuan..." ucapnya, "Maaf, saya tidak bisa berlama-lama di sini. Ibu saya menunggu kepulangan saya. Kemudian, untuk hal yang membuat saya menjadi sedih, saya rasa... Tuan tidak perlu mengetahuinya." Ia benar-benar merasa ingin pergi dari hadapan pemuda berwajah tampan ini.
"Kau tidak mempercayaiku?" si pemuda memahami kegalauan gadis itu.
"Maaf, saya harus pulang," gadis itu buru-buru pergi dari hadapannya. Namun si pemuda tetap tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Apa yang Tuan inginkan dari gadis desa seperti saya ini?" gadis itu memandang wajah pemuda itu dengan rasa kesal dalam hatinya. "Saya tidak memiliku apa-apa jika Tuan menginginkan uang saya."
"Aku tak membutuhkan uangmu," jawab pemuda itu. "Aku membutuhkan dirimu."
Gadis itu terhenyak kaget mendengar jawaban pemuda itu. Ia merasa makin terancam dan ketakutan. "Tuan... saya tidak mengenal anda dan anda pun tidak mengenal saya..."
"Karena itu..., ijinkan aku berkenalan denganmu," pemuda itu tersenyum lembut kepadanya. Hati si gadis berdesir ketika pemuda setampan itu tersenyum pada dirinya yang hanya gadis desa ini. "Apakah kau mau menemaniku berjalan-kalan di sekitar tempat ini?" tanyanya sopan.
Gadis itu terdiam sejenak. Hatinya merasa tertarik dengan pemuda ini tetapi akalnya memberitahu dia bahwa dia harus mematuhi kata-kata ibunya untuk segera pulang ke rumah. Gadis itu lalu tersenyum dan menerima ajakan pemuda itu. Mereka berdua pun bercakap-cakap di sekitar taman hingga sore menjelang. Taktala melihat matahari hampir tenggelam, gadis itu tersadar kalau ibunya tentu mengkhawatirkan dirinya. Gadis itu pun pamit untuk pulang pada si pemuda tetapi, lagi-lagi pemuda itu menahan kepergiannya.
"Kau terlihat lapar. Jarak antara desa dan kota ini tentu agak jauh. bagaimana kalau kita makan dulu sebelum kau pulang?" tawarnya.
Si gadis lagi-lagi mengiyakan ajakan pemuda itu. Mereka pun makan di sebuah rumah makan yang ada di dekat taman. Selesai makan, gadis itu pamit untuk pulang tetapi, pemuda itu menahan kepergiannya lagi.
"Kau tampak kusut dan kelelahan. Ibumu tentu khawatir jika kau terlihat seperti ini. Kita cari penginapan dulu dan kau bisa membersihkan dirimu di sana. Apakah kau setuju?" tanyanya halus.
Gadis itu tampak ragu dengan tawaran si pemuda tetapi, lagi-lagi ia mengiyakannya. Sebenarnya, di gadis juga tidak ingin berpisah dengan pemuda ini. Ia merasa hatinya telah ditawan oleh pemuda ini. Gadis itu pun mengikuti pemuda itu ke sebuah penginapan yang ada di sekitar taman.
Gadis itu lalu membersihkan dirinya di penginapan itu sedangkan si pemuda menunggunya. Selesai berbenah, gadis itu pamit tetapi..., kali ini pemuda itu tidak membiarkannya pergi. Ia mengajak gadis itu untuk bercengkrama bersama dirinya malam itu dan gadis itu pun tidak bisa menolak ajakannya. Malam telah berlalu dan esok datang, si gadis terbangun dari tidurnya dan tidak mendapati kekasihnya berada di sisinya. Tahulah dia, bahwa dia telah dibodohi oleh pemuda itu. Ia telah terbuai dengan kata-kata manis pemuda itu hingga dirinya rela menyerahkan kehormatannya pada si pemuda. Gadis itu menangis sejadi-jadinya karena ketololannya.
Akhirnya, dengan perasaan bercampur-aduk dan hati masygul, gadis itu pulang ke rumah. Ibunya menyambut kedatangannya dengan kekhawatiran yang amat sangat karena puteri semata wayangnya tak jua pulang ke rumah. Melihat wajah ibundanya, si gadis segera berlari memeluk ibunya dan menangis di pelukan wanita itu. Di dalam rumah, gadis itu menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang ibu. Menangislah sang Ibu begitu selesai mendengar cerita putrinya. Ia memeluk buah hati kesayangannya dan menangis bersama-sama dengan putrinya. Hatinya berbisik pilu dengan apa yang telah dialami oleh anaknya ini.
"Wahai putriku..." wanita tua itu berucap lirih, "Bukankah Ibu sudah berpesan padamu untuk segera pulang setelah kau membeli apa yang kita butuhkan? Mengapa kau tak mengindahkan pesan Ibu dan berlama-lama di kota itu?"
"Maafkan aku Ibu. Maafkan kesalahanku," ucap si gadis terisak.
Sang Ibu makin tak bisa menahan air matanya yang mengalir deras. "Tahukah kau anakku..., apa yang kau alami ini... pernah kualami bertahun-tahun yang lalu." ucapnya getir. "Apakah kau tahu..., bahwa dirimu pun lahir karena kesalahan Ibu yang membangkang pada nasehat Orangtua Ibu sendiri?"
Kata-kata Ibunya membuat si gadis terhenyak kaget.

catatan 2: pikiran buruk vs pikiran baik

Setiap kali akan menapaki hal baru, selalu saja banyak hal yang berputar-putar di dalam kepalaku. Dari hal remeh seperti, bagaimana nanti beradaptasi dengan lingkungan baru sampai apakah aku bisa mengerjakan dengan baik apa yang ingin aku kerjakan.
Ahh..., seperti biasanya, kebingungan disertai rasa ragu akan merayap dan memperolok-olok manusia yang punya banyak kelemahan ini. Dari kelemahan yang kecil sampai kelemahan yang besar, membuatku sendiri sampai jengah dan rasanya ingin berteriak, 'Baiklah...!! AKu memang buruk...!! Jadi..., tolong jangan ganggu aku lagi...!!'
Hmmm... memang rasanya sulit jika orang yang serba minder mau melangkah ke depan. Sebelum maju perang, dia kudu perang lawan suara-suara buruk dari dirinya sendiri supaya emosinya stabil dan perasaannya bisa ditekan. Tapi..., yang kupikirkan adalah..., apakah pikiran negatif itu bisa cepat pergi dari ingatan kita? maksudnya..., rumput tetangga tak selalu lebih hijau dari rumput di rumah kita sendiri 'kan?