Minggu, 02 Juni 2013

Episode 1 : Di balik Kacamata


Kebetulan aku sedang capek dan mendadak ada inspirasi membuat cerpen ini. Iseng saja, aku membuat cerpen yang juga ku-post di note fbku. Selamat menikmati semuanya ^^

=======================================

Kenalkan, namaku Bagas. Lengkapnya, Bagas Satrio Wibawa. Aku ini hanya tokoh fiktif rekaan pengarang. (Sebetulnya pengarangnya udah wanti-wanti sama aku sih supaya gak buka identitas terlalu jauh. Tapi apa daya, jujur itu lebih baik. Toh, aku juga hanya tokoh fiktif). Aku diset sebagai anak laki-laki yang baru saja lulus SMP dan sekarang masuk SMA. (Menurut analisaku, si pengarang sengaja nge-set aku sebagai siswa baru supaya dia bisa jaga-jaga untuk membuat ceritanya lebih lebar. Kalian tahu sendiri 'kan, biasanya murid baru itu tokoh yang paling gampang di-bully sama senior-senior di sekolah. Tapi, apa pun yang diinginkan pengarang padaku, jangan harap dia bisa seenaknya bully  aku titik, gak pake koma.).

Berhubung pengarangnya lagi pusing ngerjain skripsi (aduh, maaf, mbak, nggak sengaja keceplosan. Eh, ini juga nyeplos identitas pengarang ya? Waduh, alamat aku bakal kena omelan pengarang nih), jadi waktunya akan dimajukan sekitar dua bulanan setelah aku mengikuti MOS. (Maaf, ye, kalian jadi nggak bisa liat masa-masa MOSku). Oke, gimana kalau langsung ke cerita aja? Kelamaan pembuka seperti ini, nanti malah keceplosan hal lain-lain lagi dah. Bisa-bisa aku malah curhat sama kalian.

Ya sudah, mari kita ke bagian ceritanya saja.

***

Sekolahnya tak berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya. Bangunannya besar dan luas, warnanya pun krem cerah, seperti bangunan sekolah-sekolah lain. Di beberapa bagian, terdapat halaman yang ditumbuhi pohon-pohon peneduh. Pada papan nama di bagian gerbang depan sekolah tertulis, 'SMA N 1 Jaya Sentosa'. Entah apa maksud dari nama itu, tetapi... berulang-kali dibaca pun, nama sekolah itu mirip seperti nama bis jurusan. (Nama sekolah ini pun fiktif). Keorganisasian siswa di SMA ini juga sama seperti SMA-SMA lain. Ada OSIS, Passus (Pasukan Kedisiplinan Sekolah), Pramuka, PMR, dan lain-lain. Tak ada hal yang aneh dengan sekolah ini. Semua biasa-biasa saja. Ya, itulah yang tampak di depan mata.

Pemuda berkacamata itu menatap orang di depannya dengan pandangan berani. Pada lengan kanannnya terjahit bet tingkat satu berwarna merah, berbeda dengan bet tingkat dua berwarna hijau yang terjahit di lengan seragam orang di hadapannya.

"Saya hanya ingin mewawancara ketua Pasus. Kenapa tidak boleh, Kak?" Bagas menatap kesal senior di hadapannya.

Pemuda berambut cepak yang berdiri di depan pintu masuk ruang Pasus berdecak pelan. "Kan sudah dibilang, Wirya tidak ada di sini. Wirya baru keluar, sedang mengikuti rapat OSIS."

"Masa'?" Bagas memandangnya kesal. "Rapat OSIS 'kan sudah selesai sekitar sepuluh menit yang lalu. Nggak mungkin-lah kalau Mas Wirya masih di ruang rapat."

"Ish," Yudha kelihatan kesal dengan kengototan adik kelasnya ini. "Wirya memang nggak ada di dalam. Kalau kamu mau ngecek, cek saja di ruang OSIS. Kalau kamu mau nunggu, tunggu saja di luar. Selain anggota, tidak ada yang boleh masuk ke ruang Pasus." ia mengetuk-ngetuk pintu ruangan yang tertutup, menunjuk ke arah stiker yang terpasang di depan pintu.

Bagas kelihatan keki. Ada apa sih dengan anggota-anggota Pasus? Kenapa susah sekali bagi mereka untuk bersikap ramah dengan siswa lain yang notabene siswa biasa. Apalagi dia ini wartawan, wartawan sekolah! Harusnya, anggota Pasus berbaik hati dengan wartawan sekolah. Tidak bersikap ketus seperti ini. Di era modern yang mengandalkan informasi, harusnya Pasus membuat pencitraan yang baik di depan wartawan. Tapi itu harusnya, nyatanya, rata-rata anggota Pasus selalu sukses membuat para reporter sekolah keki karena seringkali susah dimintai komentar atau 'komprominya'. Karena itu, anggota surat kabar sekolah memberi julukan pada organisasi ini sebagai, 'The Judes Organization'.

Seperti yang dikatakan pimpinan redaksi surat kabar, dia tidak akan mudah mendapat informasi dari ketua Pasus. Beberapa kali Wirya memang berkelit saat dimintai waktunya untuk wawancara. Namun, setelah sekian hari menunggu dan mendesak, akhinya Wirya memberikan waktunya untuk diwawancara Bagas. Namun, dia memberi syarat, bila Bagas terlambat datang, maka wawancara batal. Berhari-hari penantiannya untuk mengorek informasi dari Wirya, bagaimana mungkin dia melepaskan momen bagus ini?! Sebagai anak baru di surat kabar sekolah, dia tidak akan menyerah begitu saja dengan halangan ini. Dia harus mendapat informasi ini!

"Mas Wirya ada di dalam 'kan, Mas? Aku tadi lihat Mas Wirya masuk ke sini," Bagas tetap berkeras untuk masuk.

Yudha melotot ke arahnya. Ini anak, sudah dibilang kalau ketuanya nggak ada di dalam, kok masih ngotot saja pengin masuk. Lama-lama Yudha keki juga menghadapi Bagas.

"Sudah..." kata-katanya tertahan di mulut saat melihat Wirya datang bersama beberapa anggota Pasus. "Tuh, lihat, Wirya baru datang." dengusnya kesal sambil menunjuk ke belakang Bagas dengan dagunya.

Bagas menoleh ke belakang. Sekawanan siswa yang mengenakan seragam sama sepertinya, tetapi dengan bet yang agak berbeda di lengan kiri, berjalan ke arah ruang Pasus. Wirya, pemuda bertubuh jangkung dan bermata hitam tajam, berjalan dengan raut wajah lesu. Langkahnya lambat dan kedua bahunya turun.

Bagas mengerutkan dahi melihat sikap tubuh kakak kelasnya ini. Apa terjadi sesuatu tadi, saat rapat tertutup antara OSIS dengan Pasus?

"Wirya!" Yudha memanggilnya sambil melambai ke arah ketuanya.

Pandangan pemuda itu, yang semula tertunduk, pun terangkat. Perhatiannya langsung tertuju pada Bagas, anggota surat kabar sekolah. Sejenak, senyum mengembang di wajah Wirya. Pemuda itu pun menghampiri juniornya.

"Wah, kau datang tepat waktu sekali," komentar Wirya sambil berjabat tangan dengannya.

Bagas cuma meringis. Ingin rasanya dia mencibir mengenai keterlambatan Wirya, tetapi ditahannya lidahnya kuat-kuat, tak mau membuat perburuan beritanya gagal.

"Ayo masuk. Sesuai janjiku, kau bisa mewawancaraiku," Wirya masuk ke dalam.

Bagas tersenyum bersemangat. Ia melirik sekilas ke arah Yudha, melemparkan senyum penuh kemenangan, membuat kakak kelasnya memberengut kesal. Ruang Pasus terdiri dari ruang tamu dan ruang ketua. Di dalam ruang tamu, terpajang berbagai fotokopi penghargaan yang pernah dimenangi Pasus dalam perlombaan kedisiplinan antar sekolah. Bagas mengernyit, kira-kira... apa ada perlombaan bagi surat kabar antar sekolah ya?Setelah masuk ke ruang ketua, Bagas duduk di kursi di seberang meja Wirya.

Ruangan Wirya tampak sederhana sekali, hanya ada meja, kursi, kalender, serta bendera Pasus, sekolah, dan bendera Negara di salah satu sudut ruangan. Ketiga bendera itu bersisian dengan bendera merah-putih berada di tengah-tengah dan diikat pada tongkat yang paling tinggi.

"Jadi, informasi apa yang diinginkan surat kabar sekolah dariku?" Wirya menatap Bagas penuh arti.

Bagas membetulkan letak kacamatanya. Ia mengambil pena dan jurnalnya. "Kurasa Mas Wirya sudah tahu apa yang dimau pimpinan redaksiku," Bagas membuka jurnalnya.

"Oh..., masalah tentang Pasus dengan OSIS, ya?" Wirya tertawa pelan.

Bagas mengangguk pelan.

"Aku bisa memberikan informasi ini. Tapi, apa yang dijanjikan Johan padaku kalau aku mau membuka masalah ini?"

Siswa kelas satu itu ternganga mendengar pertanyaannya. Lhoh, kok ada janji-janjian seperti ini?

"Lho, Mas Johan sama sekali nggak ngasih tahu apa-apa tentang itu," jawabnya lugu.

Wirya tersenyum tipis. "Kalau begitu, bisakah surat kabar sekolah melakukan sesuatu untuk Pasus?"

-bersambung-

(sambungannya kapan-kapan, entah kapan cerita ini bisa ditulis lagi)