Sabtu, 30 Oktober 2010

Senandung Malam Api

Malam ini, Thyan pergi bersama dengan Li, putera Ibu asramanya, ke pasar malam yang ada di kota. Thyan memakai pakaian lengan panjang berwarna putih, begitupula dengan warna celananya. Sementara itu, Li memakai pakaian lengan panjang berwarna hitam dengan pakaian luar tanpa lengan berwarna putih. Di pinggangnya terikat sebuah kain berwarna hitam. Mereka berdua menyusuri jalanan kota yang ramai dengan kerumunan orang-orang yang sedang menonton pasar malam.

"Apa tidak apa-apa untukmu, Li?" Thyan memandang pemuda itu dari belakang. "Ibumu marah tidak?"

Li tersenyum, "Ibu tidak marah, kok. Ayah juga biasa saja ketika aku minta ijin untuk pergi ke pasar malam. Jadi..., kau tenang saja. Jangan khawatir."

"Hemm..., Kakak-kakakku akan cemburu padaku karena sikap keluargamu padaku," ujar Thyan sambil memandang kiri-kanannya.

Li tertawa lepas mendengar kata-katanya. "Apa boleh buat. Yang paling lama ikut kami 'kan kau." Pandangan Li tertuju pada sekelompok orang yang tengah ber-akrobat. "Hei...!! Kita lihat itu, yuk," Li menarik tangan Thyan dan mengajaknya untuk menonton permainan akrobat.

Thyan tidak bisa menolaknya. Langkah kakinya sedikit terseok-seok mengimbangi langkah kaki Li yang begitu cepat. Li sedikit memaksa masuk di antara kerumunan orang-orang. Ia lalu mencarikan tempat yang bagus supaya mereka berdua bisa menonton pertunjukan akrobat itu tanpa halangan. Seorang laki-laki menyemburkan api yang sangat besar hingga membuat seluruh penonton terpukau. Para penari akrobat jalanan itu tampak lihai membuat nafas penonton tertahan. Mereka begitu ahli dalam mempermainkan kertertakjuban orang-orang di sekitarnya. Li ternganga kagum ketika salah seorang dari penari itu bisa menangkap penari lain yang meloncat dari salah satu papan kayu. Thyan sendiri cuma diam menyaksikan pertunjukan akrobat itu. Hatinya merasa sedikit resah dan galau mengingat semua kebaikan keluarga Li padanya.

Keluarga Li merupakan keluarga yang terkenal biasa menampung anak-anak terlantar di kota. Yah..., mereka termasuk keluarga kaya, sih. Nah... di tempat penampungan atau disebut juga asrama, anak-anak terlantar biasanya dididik dan diberi pengarahan supaya mereka bisa hidup mandiri. Ibu Li dulunya merupakan seorang seniwati yang hebat sehingga dia mengajarkan keahliannya dalam menari kepada anak-anak asuhnya. Sedangkan Ayah Li yang merupakan seorang pedagang, mengajarkan cara menulis, membaca serta berhitung pada mereka yang kurang mampu ini. Thyan sendiri sudah diasuh dalam keluarga ini semenjak umurnya lima tahun. Sekarang..., umurnya menginjak enam belas tahun. Sudah sebelas tahun dia berada dalam keluarga ini dan berteman akrab dengan anak-anak mereka. Dan..., yang paling akrab berkawan dengannya ya... si Li ini...

Begitu banyak yang telah mereka berikan padanya hingga Thyan yang dulunya tidak punya apa-apa, sedikit demi sedikit mulai bisa berdiri sendiri. Thyan merasa berhutang-budi pada mereka. Karena itu, jika Li ataupun keluarganya yang lain bersikap baik padanya, itu justru membuatnya merasa rikuh sendiri. Bagaimanapun juga..., dia cuma orang luar, bukan keluarga mereka seutuhnya...!!

"Hei... tadi Kak Shan berpesan padaku supaya besok kamu datang lebih pagi dalam latihan," Li menoleh ke arah Thyan.

Thyan tersentak dari lamunannya. "Kak Shan menyuruhku datang lebih pagi?" ia mengerutkan dahinya.

Li mengangguk pelan. "Katanya... ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

Gadis itu makin bertambah heran. "Siapa?"

"Entahlah," Li menggedikkan bahunya. "Tapi..., katanya sih orang penting."

Gadis itu semakin tanda tanya. Pandangannya teralih sejenak ketika ada sekawanan prajurit merusak kerumunan orang-orang yang tengah menonton akrobat. Seluruh orang tampak 'kocar-kacir' karena gangguan prajurit kota. Mereka segera menyingkir, mempersilahkan seorang petinggi untuk lewat. Suara langkah kaki kuda yang gagah terdengar mendekati para pemain akrobat yang diam mematung di tempat masing-masing. Seorang Pria berambut hitam pendek dan memakai baju dinasnya lengkap, memandang tajam ke arah para pemain akrobat itu. Raut wajahnya tampak menyiratkan kemarahan serta kegeraman tersembunyi.

Thyan terperangah melihat Pria yang duduk dengan tegap di atas kuda hitamnya. Ia mengenali Pria itu...!! Dia merupakan salah seorang pengunjung rutin sanggar!! Li sedikit mundur ke belakang ketika beberapa prajurit menyuruhnya untuk mundur.

"Bukankah kemarin aku sudah mengatakan pada kalian untuk tidak beratraksi di sini?!" nada suaranya meninggi tajam dengan suara berat yang khas.

Para pemain akrobat itu gemetar ketakutan mendengar kata-kata Pria itu. Mereka tertunduk takut dengan tubuh menggigil pelan. Thyan memperhatikan Pria pujaan hatinya dengan seksama sampai tidak menyadari kalau Li menarik tangannya dan mengajaknya untuk pergi dari tempat itu.

"Ayo pergi," ajak Li setengah berbisik.

"Kenapa harus buru-buru?" protes Thyan. Ia tak mau meninggalkan tempat ini cepat-cepat.

"Kata Ayahku, tidak baik berlama-lama di tempat yang banyak prajuritnya. Bisa-bisa kita kena tuduhan yang tidak-tidak," Li menarik Thyan dan berjalan menjauhi kerumunan secara perlahan-lahan. Tanpa disengaja, tatapan Thyan dan Pria itu kembali bertemu. Kali ini, sangat jelas bagi Pria itu untuk mengenali Thyan dan Pemuda yang mengajaknya pergi.

Sang Penari Merak

Gadis bergaun hijau muda lembut itu menggerakkan kedua tangannya. Kedua matanya yang berwarna hitam, memandang teduh sekelilingnya tanpa ada rasa sama sekali. Tubuhnya bergerak gemulai, menampakkan kecantikan sang merak yang elok. Kain-kain panjang yang menyelubungi tangannya tergerak ke atas dan ke bawah, berputar dan membentuk bayangan-bayangan indah dalam udara.

Kepekatan malam yang indah membuat suara kecapi dan seruling makin terasa syahdu. orang-orang berdecak kagum menyaksikan tarian mereka yang indah dan elok dipandang. Tak sedikit di antara orang-orang itu membawa pasangan mereka untuk menyaksikan tarian terkenal di pinggir danau besar nan indah. Suara biduanita yang merdu mengalahkan suara-suara malam yang kaku. Semua orang terhipnotis dengan tarian sekelompok orang itu. Pandangan mereka sama sekali tidak teralih pada wajah-wajah bercadar putih tipis yang menarikan tarian indah ini.

Di sudut matanya yang indah, gadis bergaun hijau muda lembut itu mencuri pandang ke arah seorang Pria berpakaian hitam yang tengah menikmati pertunjukan mereka. Sebetulnya, gadis itu memakai pakaian sama dengan kawan-kawannya, yang membuatnya berbeda adalah tatapan malu-malunya pada orang-orang di hadapannya. Ia tampak lebih sering menundukkan pandangannya dan berkonsentrasi pada tariannya daripada melemparkan dengan bebas pandangannya pada siapapun.

Gadis itu tak mengenal Pria berpakaian hitam itu sepenuhnya. Yang ia tahu, seminggu sekali, Pria itu akan datang kemari menyaksikan pertunjukan tarian mereka. Jantungnya berdegup ringan ketika pandangan mereka tak sengaja berpapasan. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Hampir saja dia salah melakukan gerakan karena kaget, dipandangan setajam itu oleh Pria tersebut. Hatinya bergetar tidak karuan. Sudah lama sekali ia memperhatikan Pria ini dari kejauhan dan... hatinya mulai merasakan sesuatu yang meresahkan serta sedikit menyakitkan.

Selendang-selendang panjang berwarna hijau lembut menari-nari di udara, di antara angin-angin malam yang dingin. Ingin sekali..., dirinya berkenalan dengan Pria itu tetapi, apa daya, dia merasa malu untuk berkenalan langsung dengan salah seorang pengunjung mereka. Lagipula..., jika Pria itu punya kedudukan tinggi, apakah cintanya bisa terbalas? Ah..., gadis itu berdecak resah dalam hatinya. Ia berdoa, semoga... Pria itu berasal dari kalangan biasa saja. Namun..., sepertinya itu hal yang mustahil karena rata-rata pengunjung yang datang ke tempat ini merupakan orang-orang kalangan atas yang menyukai kesenian.

Langkah-langkah kaki kecilnya mengikuti iringan petikan kecapi yang lembut. Rambut hitamnya yang bergelombang diikat dengan rapi. Terdapat hiasan rambut emas berbentuk mirip seperti bulu merak diujungnya. Sekarang, pandangannya kembali terarah pada Pria itu. Sejenak, ia tertegun dalam kediamannya saat melihat seorang wanita bergaun merah jambu lembut duduk dengan anggun di sampingnya. Perasaannya hancur seketika ketika melihat kemesraan serta rasa kasih di antara keduanya. Sekarang..., ia sadar, bahwa dirinya... hanya mengharapkan hal yang sia-sia.

Merak-merak itu menyelesaikan tarian mereka hingga akhir. Gadis itu sendiri menahan air matanya yang sudah hampir turun ke pipinya. Ia berusaha menyelesaikan tariannya sekalipun perasaan pada hatinya membuat seluruh tubuhnya enggan untuk bergerak. Ketika musik telah selesai didendangkan dan para penari selesai menarikan tariannya, seluruh orang yang ada di tempat itu bertepuk tangan dengan wajah terkagum-kagum. Berapa kalipun mereka menyaksikan tarian ini, tetap saja rasa kagum itu tidak pernah sirna.

Selesai memberikan penghormatan kepada pengunjung, para penari itu pergi dari panggung mereka yang berupa lapangan bebas berumput dan masuk ke dalam sebuah rumah besar berukiran indah. Di sana..., pecah sudah kesedihan sang gadis. Cintanya... telah tertolak sebelum ia sempat mengutarakannya pada Pria yang disukainya.
***

Keesokan harinya....
"Pagi, Thyan...," seorang pemuda berpakaian putih dan bercelana panjang biru, mengagetkan si gadis yang tengah menjemur pakaian di belakang asramanya. Pemuda berambut hitam pendek itu muncul dari atas pohon secara tiba-tiba.

"Li...?! Kau selalu saja mengagetkanku," gadis yang bernama Thyan itu menggerutu dengan kedatangan kawannya yang merupakan anak pemilik asrama. "Apakah kau tidak bisa datang dengan mengucapkan permisi?" ia kembali menjemur baju luarnya.

"Baiklah, Nona Thyan," Li tersenyum usil. "Permisi..., apakah aku mengganggumu?" tanyanya yang jelas-jelas jawabannya sudah pasti. Ia lalu meloncat turun dari atas pohon dan membantu Thyan menjemur pakaian para penari yang lain.

"Hei...!! Ibumu akan memarahiku kalau tahu kau ikut menjemur pakaian Kakak-kakak yang lain," ia segera merebut baju yang ada di tangan Li dan menyuruh pemuda itu jauh-jauh dari dirinya.

"Ah..., santai sajalah, Thyan," Li merebut pakaian yang ada di tangan gadis itu. "Ibuku tidak akan tahu kalau kau tidak memberitahu. Lagipula, kalau beliau datang, aku bisa segera bersembunyi. Jadi..., kau tidak akan dimarahi." ujarnya dengan senyum simpul yang khas.

Thyan diam. Bicara dengan pemuda ini hanya akan menghasilkan perdebatan saja, jadi..., ia putuskan untuk membiarkan pemuda itu membantunya.

"Hari ini kau ada latihan?" tanya Li.

"Tidak ada," jawab Thyan pelan. Ia teringat kejadian malam tadi. "Kemarin pementasan, jadinya... hari ini istirahat."

"Wah..." raut wajah Li tampak senang. "Kalau begitu..., bagaimana kalau kita pergi ke pusat kota?" ajaknya. "Di sana sedang ada pasar malam, lho."

Thyan mengerutkan dahinya. "Ibumu benar-benar bisa marah padaku, Li."
***

Kamis, 28 Oktober 2010

Sayap-sayap harapan

Seorang gadis cilik berpakaian usang menengadahkan kedua tangan kecilnya di pinggir jalan. Dengan muka berdebu dan tubuh ringkihnya yang mungil, ia berjalan dari satu orang menuju ke orang lain, meminta sedikit belas kasihan dari sekelilingnya. Namun, apa daya, sedikit sekali orang yang mengulurkan tangannya untuk memberikan sekoin receh padanya.

Gadis cilik itu tertunduk lesu di tepi trotoar. Uang yang ada ditangannya sangat sedikit hingga membuat hatinya gelisah. Anak itu takut, jika ketika pulang nanti, sang Ibu akan memarahinya karena uang yang ia bawa kurang. Wajahnya menyiratkan kebingungan dalam hatinya. Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Rasanya hatinya tercabik-cabik jika mengingat pukulan atau makian kedua Orangtua yang sudah membuatnya lahir ke muka bumi ini. Air matanya berlinang di kedua bola matanya yang hitam. Tubuh kecilnya gemetar ketakutan.

Anak itu mengelap air matanya yang jatuh dengan lengan kaos usangnya. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan kembali mengemis di sekitar jalanan yang padat dengan orang-orang dewasa. Sesekali, anak itu melirik iri beberapa anak kecil yang sedang jajan sehabis pulang sekolah. Dirinya memandang kagum anak-anak berseragam itu dan merutuki dirinya sendiri yang tidak punya pengetahuan apa-apa selain mengemis. Tawa-canda anak-anak berseragam itu membuat dirinya semakin minder. Harga dirinya jatuh sedalam-dalamnya. Kedua tangannya yang semula terangkat kembali turun dan tertelungkup. Diurungkan niatnya untuk meminta-minta.

Hatinya berbisik sedih. Mengapa mereka bisa bersekolah sementara dirinya tidak? Mengapa mereka bisa membaca sedangkan dirinya tidak? Kenapa dirinya harus mengemis seperti ini? Apa yang membuat kedua Orangtuanya tidak mau menyekolahkannya? Batinnya berkecamuk hebat. Bukan keinginannya untuk lahir dari keluarga miskin yang kasar seperti ini. Bukan keinginannya untuk mempunyai kedua Orangtua yang pemarah dan sering memaki dirinya ini...?! Bukan keinginannya pula untuk menjadi pengemis dan ditertawai oleh banyak orang...!!

Anak itu terisak pelan ditengah hiruk-pikuk keramaian jalan yang padat. Air matanya menetes satu demi satu di kedua pipi mungilnya yang kotor. Ia ingin bersekolah. Ia cuma ingin bersekolah...!!!

episode 8 : Negeriku tercinta

Beberapa kali, ah, bukan tetapi... berkali-kali, saya melihat berita mengenai berbagai bencana yang terjadi di Indonesia. Sungguh, hati ini miris rasanya melihat bertubi-tubi bencana melanda negeri ini. Sejak tahun 2004 lalu, alam Indonesia seolah mengamuk pada penduduk Indonesia dan menggempur bangsa ini dengan berbagai macam masalah mengenai lingkungan. Parahnya lagi, masyarakat yang menjadi korban bencana terlihat terlantar (dalam pandangan saya dari berita di televisi).

Ya Tuhan..., mengapa begitu banyak masalah menimpa negeri ini? Belum masalah satu selesai, maslaah lain sudah datang. Apa ini merupakan suatu peringatan bagi sebagian orang-orang di antara kita? Bukankah..., jika 'orang-orang baik' diam membiarkan 'orang-orang jahat' berlaku sewenang-wenang, maka 'orang-orang baik' itu akan ikut dibinasakan bersama 'orang-orang jahat'?

Tentunya..., ada yang salah dengan negeri ini sehingga Tuhan menimpakan bencana pada bumi pertiwi ini secara terus-menerus. Tetapi, masalahnya, bagaimana kita menemukan akar permasalahan itu dan menyelesaikannya? Kawan-kawan sekalian, semoga kita bukan menjadi sebagian 'orang-orang baik' yang cuma diam hingga akhirnya ikut kena 'tumbal' gara-gara ulah segelintir orang. Bencana-bencana ini tentu ada solusinya tetapi, tergantung diri kita ini sadar atau tidak.

Kemudian, untuk para korban bencana alam, semoga mereka bisa ikhlas dan kuat menerima masalah ini. Kami, saudara-saudara sebangsamu, berusaha untuk memberikan bantuan terbaik yang bisa kami berikan supaya diri kalian bisa tetap bertahan. Bagaimanapun juga, kami pun merasa sedih atas apa yang menimpa kalian semua. Di hari sumpah pemuda ini, semoga para pemuda generasi sekarang ini ke depannya bisa menjadi generasi unggul yang akan merubah dan mengadakan pembaharuan pada Negeri ini. Dan... semoga bencana ini menyatukan kita semua dalam satu wadah yang dinamakan 'kasih-sayang bersama'.

Salam doaku untuk kalian semua,
-Cahaya Senja-

Sabtu, 23 Oktober 2010

episode 7: Lilin-lilin pustaka

Gerah nian hari ini. Tak kujumpai satupun hal yang bisa membuat rasa panas ini menjadi dingin. Lelah dan kesal karena cuaca ini, kututup mata di bawah pohon rindang besar yang ada di ujung taman. Ahh..., sejuk. Semilir angin berhembus melewati celah-celah ranting pohon yang terlihat rapuh tetapi kuat. Hemm..., rasanya begitu damai dan menenangkang. Bersandar pada sesuatu yang kokoh, menikmati kesejukan di antara sengatan sinar matahari.

Kubuka kedua mataku dan kutatap langit biru yang sesekali terhalang oleh kapas-kapas putih nan cantik. Hatiku bergumam pelan. Semuanya... terlihat indah dan menarik, ketika cahaya memantulkan sinar-sinarnya ke sekeliling benda hingga mata bisa melihat dengan jelas bentuk-bentuk benda tersebut (ehm..., itu ada di pelajaran biologi deh, kayake...). Namun, ketika malam datang, kepekatan akan kegelapan membuat semua hal yang indah ini terlihat samar, buram, bahkan terkesan jelek. Tetapi..., Tuhan tetap menganugerahi malam dengan sinar rembulannya yang lembut, sinar yang dipantulkan dari sinar matahari. Sinar yang cukup menerangi tetapi tidak membuat makhlukNya merasa gerah.

Seperti halnya siang dan malam, kebodohan dengan ilmu pun berkaitan satu sama lain. Hal yang menjadi musuh utama yaitu kebodohan diperangi oleh ilmu. Bak kegelapan dilawan oleh cahaya. Hal yang akan terus ada di muka bumi ini. Kejadian yang selalu berulang sampai hari akhir datang. Namun, sungguh sedih sekali melihat terkadang orang menyepelekan hal ini dan cenderung mengejar keuntungan semata. Ilmu..., dimanakah kau sekarang ini??

Jumat, 22 Oktober 2010

catatan 8: demonstrasi

Hmmm..., sudah lama sekali saya tidak menulis kembali di blog ini. hehehe..., lebay. beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 20 oktober, terjadi demo di berbagai daerah. Pelaku demo sendiri tak lain adalah kawan-kawan saya yang tercinta (mahasiswa di berbagai daerah). Mereka menuntut mundurnya presiden SBY dan wakilnya Budiono karena dinilai gagal menyejahterakan Indonesia. Sungguh... menggelikan!

Sejujurnya, saya salut dan bangga juga karena masih ada para mahasiswa yang mau turun ke jalan untuk mengoarkan penderitaan rakyat. Namun, di sisi lain, saya juga merasa malu atas sikap mereka yang kadang-kadang anarkis dan mau menang sendiri alias egois. Bagaimana tidak? Mereka mengoarkan penderitaan rakyat miskin tetapi mereka juga merusak sarana dan fasilitas umum juga termasuk mobil dinas. Hayooo..., sekarang jawab, fasilitas umum itu dibuat dengan uang siapa? Jelas! Uang rakyat! Lha mobil dinas, belinya pake apa? Nggak mungkin daun, dong. Jelas! Uang rakyat juga!

Nah, lho..., kalau kayak gitu, untuk apa kalian demo hanya untuk merusak dan menghambur-hamburkan uang yang diperoleh rakyat miskin secara susah-payah? Saya akan ambil contoh di sini adalah mahasiswa dari makassar -karena mereka yang paling sering demo anarkis-. Saya merasa malu, jika mempunyai kawan mahasiswa seperti mereka, dalam pengertian, mereka adalah mahasiswa, orang-orang yang terdidik dan terpelajar. Lha kok demonya serampangan kayak preman pasar begitu? Apa itu pantas disebut mahasiswa yang merupakan ujung tombak pembangungan bangsa berikutnya?

Justru..., dengan cara mereka berdemo seperti itu, masyarakat tidak akan simpati dan malah menganggap mereka sebagai perusuh. Ayolah..., kalian merupakan mahasiswa. Pasti punya cara-cara etis untuk mengungkapkan kekesalan kalian terhadap pemerintah atas kinerjanya. Kalian bukan preman pasar yang isinya cuma nakut-nakuti orang dan malak orang melulu. Kalian merupakan kaum terpelajar! Cendikiawan masa depan! Mau dibawa ke mana bangsa ini kalau kalian sebagai orang terpelajar ikut-ikutan bertindak seperti orang tidak pernah sekolah?!

Malulah pada diri kalian sendiri! Malulah pada orangtua kalian yang sudah menyekolahkan kalian mahal-mahal! Kalian dipersiapkan untuk jadi pedang yang kuat, bukan hanya sekedar pedang-pedangan yang bisa melukai orang! Dan lagi..., yang bisa merubah nasib bangsa kita cuma kita sendiri, bangsa yang tinggal di bumi pertiwi ini.

salam kedamaian
-cahaya senja-

Rabu, 13 Oktober 2010

episode 6 : diskusi 1

hmm...., mungkin terkesan agak janggal, ya, kok, judulnya diskusi ngantuk. Hal itu karena kami lakukan di malam hari. Dengan tv masih menyala, ada makanan kecil, saya dan teman-teman kost pun berbincang-bincang ringan. Awalnya, kami mengobrol tentang beasiswa di kampus. Kami membandingkan berapa besarnya beasiswa dari pihak ini atau itu. Wah, saya yang jadi pendengar cuma bisa melongo dan sesekali bilang 'oo...' ketika kawan saya menjelaskan tentang prosedur pengajuan beasiswa.

Nah, awalnya kami memang membicarakan tentang beasiswa. Tapi akhirnya kami mbahas mengenai politik. Huft...., terjadilah diskusi seru ini ketika kami melihat tayangan di salah satu channel tv yang memberitakan mengenai aksi demo yg berujung anarkis hingga polisi sempat memukul pendemo itu.

Begini, komentar kawan saya yang kuliah di fak. Hukum, 'sesalah-salahnya manusia pun, dia tetap harus diperlakukan sebagai manusia. Nggak bisa kita hukum dia seperti binatang.'

saya menimpali, 'ah, kayak gitu 'kan udah sering. Tapi, memang masyarakat kita juga sering main hakim sendiri ya? Ehm, pernah diberitakan ada 2 pelajar terlibat tawuran yang dihukum suruh berendam di kubangan lumpur.'

kawan saya, 'ih, itu cara yang nggak berpendidikan. Sekalipun dia salah, dia 'kan juga manusia, bukan binatang.'

saya diam termangu.

Bersambung...

Sabtu, 02 Oktober 2010

episode 5: Kuliah libur...

Berkali-kali alarm hp saya berbunyi. Wah..., sudah berapa kali ya? kayaknya udah lebih dari empat kali. Heemmm..., saya betul-betul kebluk sampai suara alarm sekeras itu nggak kedengaran. Selesai sholat subuh, saya pun menunggu datangnya pagi sambil leyeh-leyeh biasanya di kamar. Namun, apa mau dikata, gara-gara begadang semalaman, sekali tubuh capek kena kasur, satu menit pun sudha cukup untuk membuat mata kembali terlelap. Tahu-tahu, begitu mata terbuka, jam tangan sudha menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Waduuuh..., jenggiratan saya langsung buru-buru mandi supaya nggak telat berangkat kuliah pagi ini.
Hiks..., sebetulnya di kampus saya, sabtu dan minggu itu libur. Tapi..., karena dosennya nggak bisa dtaang di hari biasa, akhirnya... jadwalnya diganti di hari libur. (-__-"), pulang kampung pun jadi semakin jarang (T-T), huhuhu...
Ah..., udah deh. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Sekarang, kembali pada masalah kuliah. Selesai berbenah, saya pun langsung pergi ke kampus bersama sepeda motor milik orang tua saya (maklum, belum bisa beli motor sendiri). Sesampainya di kampus yang benar-benar sepi (mahasiswanya pada pulkam, sih), saya langsung buru-buru naik ke lantai 5, menuju ke tempat dosennya mengajar. Dan benar-benar deh, ternyata kelas udah masuk duluan...!! (-_-) ukh..., sial...!! lagi-lagi telat. Padahal udah dibela-belain ngebut di jalan nyampe balapan ama bis tua, eh..., tetepan aja telat. huhuhu..., semoga ini tidak menjadi kebiasaan dan hanya kebetulan terjadi...
Akhirnya..., makul Orkom (Organisasi dan ARsitektur Komputer) pun saya ikuti sekalipun awalnya nggak mudeng sama sekali. Dari sini, Pak dosen mengajarkan pada kami, bahwa CPU atau komputer itu sebenarnya bodoh. Yang menjadikan komputer dan laptop pandai itu karena perintah-perintah yang diberikan programmer pada benda ini selain itu, karena kecepatan komputasi pada saat mengeksekusi perintah. Sehingga tidak perlulah kita memikirkan bahwa pada suatu hari nanti, robot bisa jauh lebih pandai dari manusia, karena pada dasarnya, robotpun dibuat oleh manusia (lho..., saya ini ngomong apa, sih?). (^-^)
Bahasa yang digunakan pada komputer pun sebenarnya bahasa tingkat rendah. Dia hanya mengenal bilangan 1 dan 0 atau true dan false atau bisa disebut juga bilangan biner. Untuk proses komputasi pada komputer pun kita tidak bisa langsung menghitungnya. Semuanya harus diubah dulu menjadi bilangan biner.
Kalau kita, gampang aja menambahkan 2 + 3 = 5. Tapi kalau komputer, wah..., mumetnya setengah mati. bilangan 2 dan 3 itu harus diubah dulu ke bentuk biner hingga apabila dijumlahkan pun menghasilkan bilangan 5. Kata Pak dosen, komputer juga tidak mengenal pengurangan. Pengurangan ada itu menggunakan, ehmmm..., apa, ya... perintah khusus atau apa begitu, (maaf, saya lupa. (>_<")).
Wah..., mendengar penjelasan dari dosen saya, saya jadi teringat bahwa Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya. Kita diberi kecerdasaan, kemampuan dalam membedakan benar atau salah, nalar dalam berpikir, bahkan kita diberi kebebasan pula untuk berbuat. Alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan kita, manusia, tetapi kita sendiri yang merusaknya. Sering juga kita tidak bersyukur dengan apa yang diberikan Allah pada kita (Hiks... jadi ingat masa lalu). Coba kalau kita bandingkan diri kita sendiri dengan komputer? bagaimana jadinya kehidupan ini?

Tetap tersenyum dan tatap ke depan (^_^). Semangat...!!
Salam...
-Cahaya Senja-

Jumat, 01 Oktober 2010

episode 4: Yang Kusayang

Sebetulnya, aku benar-benar menyukainya
setiap hari...
aku selalu bersamanya
dia menemaniku tanpa mengeluh
diam dan membiarkan aku berbuat apa saja

Hampir tiap detik,
kusentuh tubuhnya...
kuusap dirinya
dan... sekali lagi...
dia diam saja
Bahkan, jika kami berlama-lama bersama
dia akan terasa panas, bahkan makin panas
membuat tanganku seolah terbakar dan...
jari-jariku terasa sakit

AKu menyayanginya
Aku menyukainya
karena, dia membantuku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan...
Namun...
sungguh...!!
AKu merasa jengkel jika kau berubah menjadi blue screen
Tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba kau mati begitu saja
padahal..., diriku sedang dikejar-kejar tugas dari dosen

Laptop...
jika dirimu terkena virus...
aku pun ketar-katir nyariin kamu antivirus
belum lagi kalau data di disk C-mu ada yang ilang
langsung pusing aku buat memperbaikinya
Kadang... kalau kerjamu lambat...
aku jadi ngedumel kesana-kemari
Grrr...!!
Apalagi kalau temanmu yang namanya modem error berkali-kali
Sungguh..., rasanya saya ingin menjitak kalian berulang-ulang
tapi sekali lagi...
sayang... kalau kamu dianiaya...
ntar jadinya malah KDT
alias
Kekerasan Dalam Tekhnologi
Lagipula sayang...,
ntar tentu mbetulin kamu lagi
Huuuh....


Untuk para pembuat laptop, terima kasih sudah membuat benda ini, ya. Juga para programmer yang membuat isian benda ini. DItambah lagi para pembuat virus serta antivirus (^__^).

catatan 7: etika, moral, dan akhlaq

Baru saja saya mengikuti makul agama, PAI, Pendidikan Agama Islam. Pak dosen baru saja menerangkan mengenai perbedaan serta persamaan antara moral dan akhlaq. Secara garis besar, persamaan antar keduanya adalah sama-sama mengajarkan kebaikan dan keburukan. Namun, perbedaannya adalah, moral itu relatif sementara akhlaq sendiri bersumber dari al Qur'an dan hadist.

Seseorang, dalam suatu masyarakat, bisa dikatakan tidak bermoral jika tidak mematuhi kebiasaan yg relatif dilakukan di daerah itu. Ruang lingkup moral itu sempit dalam pengertian hanya berlaku di masyarakat tertentu.

Sedangkan, orang yg berakhlaq, patokannya tetap yaitu wahyu Ilahi. Ruang lingkupnya global dan berlaku untuk keseluruhan umat. Akhlaq sendiri merupakan buah dari aqidah dan ibadah, dimana aqidah berbanding lurus dengan akhlaq.

Jadi, intinya, orang bermoral belum tentu berakhlaq, orang yang berakhlaq sudah pasti bermoral.



Salam
-cahaya senja-