Sabtu, 09 April 2011

Kasus 1: Sekolah Mafia atau Mafia sekolah?

Bayu berkali-kali geleng-geleng kepala ketika menonton berita di televisi yang menceritakan tentang tawuran yang terjadi di sekolahnya pagi tadi. Sampai sekarang, dikatakan bahwa anak-anak pelaku tawuran tersebut belum tertangkap karena begitu gesitnya mereka kabur ketika polisi mendekati areal kerusuhan. Ibunya yang ikut menonton peristiwa ini hanya bisa ber-istigfar karena kelakuan anak-anak muda itu. Ayah Bayu, yang sedang tugas, sempat menelepon ke rumah dan menanyakan kabar Bayu. Pria itu kelihatan lega mendengar kabar bahwa anak sulungnya baik-baik saja dan dalam keadaan sehat wa'alfiat.

Enjih menutup HP-nya setelah mendengar ceramah panjang lebar dari ibunya. Bapaknya juga sempat sms supaya dirinya jangan keluar dari kompleks area perumahan TNI sampai mereka nanti datang menjemput. Kedua Orangtuanya benar-benar
takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak jika Enjih berani keluar untuk saat ini. Situasi saat ini masih kurang menguntungkan untuk anak-anak dari sekolah Perketi Luhur (nama sekolah ini hanyalah fiktif belaka).

Budi baru saja selesai sms pada adik perempuannya untuk mengabari kepada Abah dan Emak kalau dirinya baik-baik saja. Lita, Rina, dan Edo juga kini bergabung bersama Enjih, Bayu dan Budi, satu jam setelah mereka dikabari untuk segera datang ke rumah Bayu.

Ketiga anak itu sudah berada lebih dulu di sekolah saat penyerangan berlangsung sehingga, ketika ketiga kawannya mengontak mereka untuk segera pergi dari sekolah, mereka bertiga langsung memutar otak supaya bisa keluar dari sekolah tanpa ketahuan oleh para penyarang. Akhirnya, dengan suatu kesulitan tingkat tinggi serta kemampuan yang benar-benar diusahakan, ketiganya meminjam kostum dari pihak teater dan pergi dari sekolah. Edo -> sebagai orang gila, Rina -> mahasiswa, dan... Lita -> preman nyasar (^__^"). Mereka bertiga betul-betul gugup dengan penyamaran mereka sendiri sekalipun alhamdulillah..., mereka bisa lolos dari kejaran para pelaku tawuran.

"Ah..., aku dapat alasannya...!!" seruan Edo membuat perhatian orang-orang yang ada di depan ruang TV beralih kepadanya. Kini, tinggal mereka berenam yang ada di ruangan itu. Ibu Bayu sudah beralih ke dapur untuk memasak. Adik-adik Bayu sendiri masih bersekolah.

"Alasan apa?" Lita menyerngitkan dahi, penasaran.
"Alasan siswa SMA AdiLuhung (ini juga nama fiktif) menyerang sekolah kita," Edo menunjukkan HPnya pada kawan-kawannya. Mereka berlima langsung mengerubungi pemuda itu dan satu per satu membaca sms di kota masuk HP Edo secara bergiliran.

"Aku punya kawan dekat di SMA AdiLuhung," Edo mulai menjelaskan bagaimana dia mendapat informasi ini. "Dia temanku di SD dan SMP. Katanya..., dia juga kaget ketika Gurunya memberitahukan pada mereka kalau ada beberapa kawan mereka yang menyerang SMA kita. Jujur, dia prihatin dengan peristiwa ini. Saat kutanyakan alasan kawan-kawannya menyerang kita, dia menjawab kalau itu karena mantan pacar pimpinan Geng Kapak Hitam (Nama yang di-ilhami dari geng Kapak merah (-__-")) direbut oleh salah satu siswa kelas XII sekolah kita. Entah namanya siapa. Nah, merasa tidak terima, harga dirinya terenggut atau apalah, karena si ketua geng pengin balikan dengan mantannya, makanya... tawuran ini terjadi."

"Hanya karena itu...!!!" Rina ternganga mendengar penjelasan rincinya.
"Ya Tuhan...!!! Waktu yang bisa dipakai untuk menuntut ilmu jadi terbuang gara-gara masalah seperti itu...!!!" Enjih kembali mengumpat. "Duh Gusti....!!! Paringano bedil...!! Rasane pengin nembak bocah-bocah kuwi...!!" pemuda itu mengumpat lagi, marah-marah.
"AKu tak habis mengerti..., kenapa mereka menyerang kita hanya karena masalah ini," Lita geleng-geleng kepala. "Mereka itu sebenarnya niat sekolah atau cuma mau pamer kekuatan saja?" ia juga ikut-ikutan mengumpat.

Edo cuma bisa mengangkat kedua bahunya. Pikirannya juga sama seperti kawan-kawannya. Ia tak habis mengerti..., mengapa mereka tega menyerang sekolah mereka? Hanya karena satu orang yang mereka incar, hampir seluruh anak-anak di sekolah Pekerti Luhur kena batunya.

Bayu diam. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Gimana nih, Yu?" Enjih menatap kawannya dengan tatapan ingin balas dendam. "Rasanya..., aku pengin memukuli mereka satu per satu." Ia kelihatan tidak sabar untuk melampiaskan amarahnya pada kawanan berandalan kecil itu.
"Tenang dulu, Njih," Bayu melirik kawannya. "Kalau kita menyerang mereka dengan cara yang sama seperti mereka, itu membuat kita sama rendahnya seperti mereka." Ia menarik nafas dalam-dalam. Aura kepemimpinannya menguat. "Aku ada ide untuk memberi 'pelajaran' terhadap mereka." seringai senyuman sinis terbentuk di wajahnya yang terlihat ramah.

"Wah..., kami jadi tidak sabar mendengarkan rencananya, Ndan," Budi ikut-ikutan tersenyum. Kalau Bayu sudah menampilkan senyum tersinisnya seperti ini, itu berarti... dia punya ide cemerlang untuk pemecahan masalah mereka.
"Oke, Ndan! Kita siap bekerja kok!" tutur Edo bersemangat. Ia kelihatan tidak sabar untuk memulai aksinya.

Bayu tetap tersenyum. Ia menepuk bahu kanan Enjih. "Tapi... kita tidak bisa bekerja sendirian," terangnya. "Kita... butuh bantuan 'beberapa pihak'."

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar