Di sini aku berdiri.
Angin malam berhembus
kencang. Suasana tampak sepi senyap. Tak ada lalu-lalang orang-orang di jalanan
desa. Walau tidak terlalu kentara tetapi, aku bisa merasakan ketakutan di balik
gubuk-gubuk kecil ini.
Berdiam di tempat yang dingin, bersembunyi dalam
kegelapan. Di balik bayang-bayang
lorong antara rumah-rumah kayu, aku memegang kedua pedang pendekku erat-erat.
Meninggalkan semua kenyamanan di penginapan tadi, sekarang, aku harus kembali ke
realita pekerjaanku, Hunter. Aku
berbisik pelan, berdoa kepada Sang Pemberi Kekuatan agar bisa menaklukkan
buruanku yang paling menjengkelkan.
Setelah beberapa bulan aku
kehilangan jejaknya, seminggu yang lalu aku mendengar desas-desus kalau dia
akan kemari, ke Aquada. Yah, ini sebenarnya sama saja untung-untungan. Namun,
aku harus memastikannya. Jika dia ada di sini, aku akan menghabisinya, segera!
Kupejamkan kedua mataku,
berusaha berkonsentrasi pada instingku. Tengah malam sudah lewat tetapi, pagi
juga masih lama. Belajar dari kebiasaannya, aku tahu, pukul dua dini hari
adalah waktu kesenangannya untuk keluar. Di tengah antara pertengahan malam
serta pagi hari. Sejenak, aku terperangah dan segera berbalik. Kuacungkan salah
satu pedangku ke arahnya. Sial, bagaimana aku bisa teledor!
“Halo, Hunter,” seringai mengejek
muncul di wajahnya. Pria berambut merah pendek itu duduk dengan santai di atas
kotak-kotak kayu yang tersusun rapi di antara lorong tempatku bersembunyi.
“Halo juga, Vampir!”
geramku.
Pria itu tertawa ringan.
Sepertinya dia senang membuatku kaget. “Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan
hunterku di sini? Memburuku lagi?” ekspresi wajahnya terlihat mengejekku.
“Tentu saja,” jawabku
kesal. “Memangnya aku kemari untuk memancing?” semprotku galak.
Dia kembali tertawa. “Coba
kita hitung, berapa kali kau berusaha menangkapku dan membunuhku...” tiba-tiba
dia menghilang dan muncul di belakangku. Tubuhku menegang kaku ketika mendengar
suaranya. “Sepuluh kali? Lebih dari itu kau, kalian mencoba membunuhku. Tapi
pada akhirnya, kalian selalu gagal.” Bulu kudukku berdiri ketika merasakan hawa
dingin darinya.
Kudengar dia menarik nafas
dalam-dalam. Aku menelan ludah. Dia sedang membauiku, mengingat baik-baik
bagaimana aroma tubuhku.
“Aku selalu suka dengan
aroma tubuhmu.” Katanya ringan. “Tapi, bagi seorang wanita sepertimu, menjadi
hunter bukan pilihan yang baik.”
“Menjadi hunter adalah
pilihanku!” Aku berbalik, menebaskan pedangku ke arahnya. Dan..., dia sudah
menghilang.
Aku mendelik ke arahnya
yang sudah duduk kembali di tempatnya semula.
“Hunter yang bersemangat.”
Ia tertawa mengejek.
“Vampir menyebalkan,”
balasku jengkel.
Ia tergelak kembali. “Dengar
Nona Hunter yang manis...” Pria itu bersandar dengan santai pada dinding rumah.
“Saat ini aku sedang sibuk mengatur kawananku. Aku tak punya waktu untuk
meladenimu dan kawan-kawan huntermu.” Ia berdiri dari tempatnya duduk. Pendar
merah pada bola mata hitamnya menguat. “Aku punya pesan untuk Ketua Huntermu,
jangan seenaknya membantai kawananku. Kalau kalian mau membunuh Vampir liar,
itu terserah kalian. Namun, kalau kalian membantai kawananku, kalian akan
berurusan denganku.”
“Kami membantai Vampir yang
bersalah! Tak peduli itu kawananmu atau bukan.” Balasku dingin.
“Tapi aku peduli,” ia
tersenyum mengerikan. Sebelum aku sempat beranjak, dia lagi-lagi berada di
belakangku. Tubuhku menegang kaku saat jari-jarinya yang dingin menyentuh
tengkuk leherku.
“Dengarkan aku...” Ia
berbisik di telingaku. “Jika ketuamu masih senang mencari gara-gara denganku,
akan kupastikan dia akan kehilangan hunter-hunternya yang piawai. Akan kubuat
mereka jadi pelayanku, termasuk kau, Riu.” Ucapannya membuatku mematung.
“Lebih baik aku mati
daripada menjadi Vampir!” geramku tertahan.
Dia terkekeh. “Tenang
saja, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah.” Cetusnya mengejek. “Nah...,
sekarang biarkan aku pergi, Hunter. Dan, ingat kata-kataku tadi! Aku tidak
main-main.” Saat bibirnya yang dingin menyentuh leherku, aku baru tersadar apa
yang dia inginkan.
Terlambat! Aku meringis
ketika taringnya menembus kulit leherku. Sakit dan panas, itu yang kurasakan.
Kudengar dia meneguk darahku kemudian, dia membalikkan tubuhku dengan cepat
dan...
“Ngh...!!!” Aku berusaha memberontak
darinya. Dia menciumku! Aku berusaha melawannya tetapi dia menekanku ke dinding
rumah. Darah! Aku bisa merasakan dia memaksa meminumkan darah yang terasa pahit
dan kental, penuh dengan racun, darahnya!
“Ahk....” Nafas kami
sama-sama tersengal.
Ia menyeringai ke arahku,
merasa puas dengan apa yang telah dia perbuat. Sementara aku menatapnya geram
dengan penuh kebencian. Ia telah menandaiku!
“Sampai jumpa, Hunter.” Ia
mengusap sudut bibirku yang berdarah. “Aku akan melihat perkembangan kalian dan
menanti kedatanganmu lagi, dengan sukarela.” Senyum sinisnya membuatku muak.
Kemudian, tanpa kata-kata, dia pergi bagaikan angin, meninggalkanku yang diam
terduduk di lorong.
Vampir mesum ih cium2
BalasHapusEa..., mbak lun dateng langsung bilang mesum =))
HapusBiar ada greget, mbak. Makanya ada adegan ciuman :ngakaks
suka bgt sm yg ini..tadinya si vampir ngingetin aku sama bartymaeus..tapi begitu ada adegan kisu..rrr..buyar semua..
BalasHapusini ada lanjutannya kah?
Lah, akalau barti pan narsis abis. Kalau vampir ini keknya gak ada narsis-narsisnya deh :ngakaks
Hapuslanjutannya udah diposting tuh :o
http://cahaya-sore.blogspot.com/2013/01/orang-ketiga-pertama.html
Masih dalam sudut pandang si Hunter :o