Selasa, 15 Januari 2013

Orang ketiga Pertama

Sudah beberapa hari lewat setelah pertemuan kami di Aquada sana. Setelah beristirahat di kota itu dan menyembuhkan luka di leher, kini aku pergi ke Thovells. Ada surat yang baru tiba, diantar oleh Makhluk Abdi tingkat rendah yang biasa digunakan para hunter untuk berkomunikasi, dari Asosiasi yang memintaku untuk segera pergi ke Ibukota Aquamarine. Apakah ada sesuatu yang berbahaya hingga Ajid, pimpinan Hunter, menyuruhku untuk datang ke markas kami yang ada di Thovells? Ah, bukan hanya aku. Di surat tadi, berisi untuk semua hunter. Berarti, para hunter yang ada di luar Aquamarine akan ditarik ke Thovells. Ada apa sebenarnya? Dahiku berkerut.

Thovells, lama aku tak mengunjungi kampung halamanku ini. Kuda yang kunaiki melaju kencang di atas jalanan berbatu. Mungkin sudah dua tahun aku meninggalkan tempat itu. Aku memecut kudaku, supaya kuda itu berlari lebih kencang lagi. Senangnya bisa kembali ke tempat di mana aku dididik dan dibesarkan. Aku tersenyum. Dan kemungkinan, aku bisa bertemu dengannya lagi, Detha, tunanganku. Kami berpisah setahun yang lalu saat dia ditugaskan ke wilayah Zamrud sedangkan aku ke Amber. Walau begitu, kami masih sering berkirim surat dan saling menanyakan bagaimana keadaan kami di wilayah perburuan kami. Membayangkan bagaimana wajah Detha membuatku bersemangat. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya!

***

Ada banyak hal yang tidak bisa ditebak. Entah itu kematian, rejeki, bahkan... kesialan, kita tidak mampu menebaknya akan terjadi kapan, di mana dan seperti apa intensitasnya terhadap diri kita. Beberapa jam yang lalu aku sudah sampai di Thovells. Setelah pergi ke asrama hunter, aku pergi ke markas besar. Di sana, aku bertemu dengan kawan-kawan lamaku. Rasanya menyenangkan, bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang kusayangi, yang dulunya mati-matian berjuang hidup bersamaku di tempat ini. Namun, rasa senang itu sirna ketika Ajid, ketua Asosiasi, memerintahkan kami untuk berkumpul di ruang besar. Saat itu, orang yang kurindukan muncul di sana. Detha... bersama seorang wanita. Wanita yang sedang hamil?!

Aku terpaku sesaat ketika melihat Detha mengamit tangan wanita itu. Keduanya tampak bercanda sesaat sebelum masuk ke ruang besar, tempat perjamuan untuk seluruh Hunter. Langkah Detha terhenti sesaat ketika dia melihatku. Ada kilat rasa malu serta tidak nyaman ketika dia bertatapan denganku. Pria itu memalingkan wajahnya dari hadapanku dan berlalu tanpa mau menyapaku bersama wanitanya.

Seseorang menepuk bahuku, membuyarkan keterkejutanku. “Pesta akan segera dimulai,” Ulfa, salah satu kawanku, tersenyum padaku.

Ekspresi wajahku pasti terlihat aneh karena Ulfa mengernyitkan dahi saat melihatku diam saja. Lirikanku tertuju ke arah Detha yang ada di sudut ruangan bersama wanitanya. Ulfa tampak memahami apa yang kupikirkan.

“Siapa... wanita itu?” tanyaku kaku.

Ulfa menatapku kaget. “Kau belum tahu siapa dia?”

Aku mengangguk kalem.

“Jangan-jangan... Detha juga belum memutuskan pertunangan kalian?” Ulfa kembali kaget.

“Apa yang terjadi, Fa?” tanyaku lirih. “Aku tidak tahu apa-apa. Dia sama sekali tak menceritakan tentang apapun.”

“Detha kurang ajar,” Ulfa menggeram ringan. Ia mendelik ke arah Detha. “Kukira dia sudah memberitahumu dan memutuskan pertunangan kalian. Terakhir saat aku mendatangi upacara pernikahannya, dia mengatakan kalau pertunangan kalian sudah berakhir.”

“Upacara pernikahan...” Aku terperangah mendengarnya. Detha sudah menikah?!!!

***

Kupandangi lelaki itu dengan tatapan benci di depan luar asrama hunter. Saat ini, kami hanya berdua. Aku sudah meminta waktunya tadi saat berada di ruang besar. Aku ingin tahu dengan sejelas-jelasnya, apa yang sedang terjadi saat ini.

“Apa maksudmu Detha?” tanyaku dingin. Ingin rasanya aku menampar lelaki ini kuat-kuat. “Kenapa kau tidak mengundangku ke acara pernikahanmu?” sindirku tajam.

Detha diam, menatap lurus ke arahku. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Aku tak bisa.” Jawabnya kalem. “Aku tak mungkin mengundangmu.”

“Kenapa? Kau takut aku merusak acara pernikahanmu?” desisku sinis.

“Aku takut menyakitimu.” Jawabnya kalem.

“Kau bahkan lebih menyakitiku karena menyembunyikan ini semua.” Geramku. “Kenapa kau melakukan semua ini tanpa memberitahuku dulu?” tanyaku getir.

Detha menatapku serius. “Aku minta maaf karena sudah membuatmu sakit hati, Riu. Namun, saat bertemu dengan Lilan dulu, aku merasakan cinta yang lebih dalam dari rasa cinta kepadamu. Awalnya, kukira ini hanya simpati tetapi, makin lama, aku makin mencintai Lilan.” Sorot matanya tampak sayu. “Kemudian aku berpikir, aku adalah hunter. Kau tahu sendiri, tugas kita membuat kita berhadapan dengan maut. Jika aku menikah denganmu, bagaimana dengan anak-anak kita nanti? Kasian jika anak-anak itu kehilangan kedua Orangtuanya.”

“Karena itu kau memilih Lilan?” tanyaku serak.

Detha mengangguk. “Aku memang bersalah karena tak memberitahumu. Maafkan aku, Riu.”

“PLAAK!!”
Kutampar dia sekuat tenagaku. Detha hanya diam, tak membalas sikapku.

“Terima kasih... atas kebodohanmu, Detha,” cetusku sakit hati.


#Flash Fiction - Day 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar