Sudah beberapa hari lewat setelah
pertemuan kami di Aquada sana. Setelah beristirahat di kota itu dan
menyembuhkan luka di leher, kini aku pergi ke Thovells. Ada surat yang baru
tiba, diantar oleh Makhluk Abdi tingkat rendah yang biasa digunakan para hunter
untuk berkomunikasi, dari Asosiasi yang memintaku untuk segera pergi ke Ibukota
Aquamarine. Apakah ada sesuatu yang berbahaya hingga Ajid, pimpinan Hunter,
menyuruhku untuk datang ke markas kami yang ada di Thovells? Ah, bukan hanya
aku. Di surat tadi, berisi untuk semua hunter. Berarti, para hunter yang ada di
luar Aquamarine akan ditarik ke Thovells. Ada apa sebenarnya? Dahiku berkerut.
Thovells, lama aku tak mengunjungi
kampung halamanku ini. Kuda yang kunaiki melaju kencang di atas jalanan
berbatu. Mungkin sudah dua tahun aku meninggalkan tempat itu. Aku memecut
kudaku, supaya kuda itu berlari lebih kencang lagi. Senangnya bisa kembali ke
tempat di mana aku dididik dan dibesarkan. Aku tersenyum. Dan kemungkinan, aku
bisa bertemu dengannya lagi, Detha, tunanganku. Kami berpisah setahun yang lalu
saat dia ditugaskan ke wilayah Zamrud sedangkan aku ke Amber. Walau begitu,
kami masih sering berkirim surat dan saling menanyakan bagaimana keadaan kami
di wilayah perburuan kami. Membayangkan bagaimana wajah Detha membuatku
bersemangat. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya!
***
Ada banyak hal yang tidak
bisa ditebak. Entah itu kematian, rejeki, bahkan... kesialan, kita tidak mampu
menebaknya akan terjadi kapan, di mana dan seperti apa intensitasnya terhadap
diri kita. Beberapa jam yang lalu aku sudah sampai di Thovells. Setelah pergi
ke asrama hunter, aku pergi ke markas besar. Di sana, aku bertemu dengan
kawan-kawan lamaku. Rasanya menyenangkan, bisa bertemu lagi dengan orang-orang
yang kusayangi, yang dulunya mati-matian berjuang hidup bersamaku di tempat
ini. Namun, rasa senang itu sirna ketika Ajid, ketua Asosiasi, memerintahkan
kami untuk berkumpul di ruang besar. Saat itu, orang yang kurindukan muncul di
sana. Detha... bersama seorang wanita. Wanita yang sedang hamil?!
Aku terpaku sesaat ketika
melihat Detha mengamit tangan wanita itu. Keduanya tampak bercanda sesaat
sebelum masuk ke ruang besar, tempat perjamuan untuk seluruh Hunter. Langkah
Detha terhenti sesaat ketika dia melihatku. Ada kilat rasa malu serta tidak
nyaman ketika dia bertatapan denganku. Pria itu memalingkan wajahnya dari
hadapanku dan berlalu tanpa mau menyapaku bersama wanitanya.
Seseorang menepuk bahuku,
membuyarkan keterkejutanku. “Pesta akan segera dimulai,” Ulfa, salah satu
kawanku, tersenyum padaku.
Ekspresi wajahku pasti
terlihat aneh karena Ulfa mengernyitkan dahi saat melihatku diam saja.
Lirikanku tertuju ke arah Detha yang ada di sudut ruangan bersama wanitanya.
Ulfa tampak memahami apa yang kupikirkan.
“Siapa... wanita itu?”
tanyaku kaku.
Ulfa menatapku kaget. “Kau
belum tahu siapa dia?”
Aku mengangguk kalem.
“Jangan-jangan... Detha
juga belum memutuskan pertunangan kalian?” Ulfa kembali kaget.
“Apa yang terjadi, Fa?”
tanyaku lirih. “Aku tidak tahu apa-apa. Dia sama sekali tak menceritakan
tentang apapun.”
“Detha kurang ajar,” Ulfa
menggeram ringan. Ia mendelik ke arah Detha. “Kukira dia sudah memberitahumu
dan memutuskan pertunangan kalian. Terakhir saat aku mendatangi upacara pernikahannya,
dia mengatakan kalau pertunangan kalian sudah berakhir.”
“Upacara pernikahan...”
Aku terperangah mendengarnya. Detha sudah menikah?!!!
***
Kupandangi lelaki itu
dengan tatapan benci di depan luar asrama hunter. Saat ini, kami hanya berdua.
Aku sudah meminta waktunya tadi saat berada di ruang besar. Aku ingin tahu
dengan sejelas-jelasnya, apa yang sedang terjadi saat ini.
“Apa maksudmu Detha?”
tanyaku dingin. Ingin rasanya aku menampar lelaki ini kuat-kuat. “Kenapa kau
tidak mengundangku ke acara pernikahanmu?” sindirku tajam.
Detha diam, menatap lurus
ke arahku. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Aku tak bisa.” Jawabnya
kalem. “Aku tak mungkin mengundangmu.”
“Kenapa? Kau takut aku
merusak acara pernikahanmu?” desisku sinis.
“Aku takut menyakitimu.” Jawabnya
kalem.
“Kau bahkan lebih
menyakitiku karena menyembunyikan ini semua.” Geramku. “Kenapa kau melakukan
semua ini tanpa memberitahuku dulu?” tanyaku getir.
Detha menatapku serius. “Aku
minta maaf karena sudah membuatmu sakit hati, Riu. Namun, saat bertemu dengan
Lilan dulu, aku merasakan cinta yang lebih dalam dari rasa cinta kepadamu.
Awalnya, kukira ini hanya simpati tetapi, makin lama, aku makin mencintai
Lilan.” Sorot matanya tampak sayu. “Kemudian aku berpikir, aku adalah hunter.
Kau tahu sendiri, tugas kita membuat kita berhadapan dengan maut. Jika aku
menikah denganmu, bagaimana dengan anak-anak kita nanti? Kasian jika anak-anak
itu kehilangan kedua Orangtuanya.”
“Karena itu kau memilih
Lilan?” tanyaku serak.
Detha mengangguk. “Aku
memang bersalah karena tak memberitahumu. Maafkan aku, Riu.”
“PLAAK!!”
Kutampar dia sekuat tenagaku. Detha hanya diam, tak membalas sikapku.
#Flash Fiction - Day 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar