Minggu, 02 Juni 2013

Episode 1 : Di balik Kacamata


Kebetulan aku sedang capek dan mendadak ada inspirasi membuat cerpen ini. Iseng saja, aku membuat cerpen yang juga ku-post di note fbku. Selamat menikmati semuanya ^^

=======================================

Kenalkan, namaku Bagas. Lengkapnya, Bagas Satrio Wibawa. Aku ini hanya tokoh fiktif rekaan pengarang. (Sebetulnya pengarangnya udah wanti-wanti sama aku sih supaya gak buka identitas terlalu jauh. Tapi apa daya, jujur itu lebih baik. Toh, aku juga hanya tokoh fiktif). Aku diset sebagai anak laki-laki yang baru saja lulus SMP dan sekarang masuk SMA. (Menurut analisaku, si pengarang sengaja nge-set aku sebagai siswa baru supaya dia bisa jaga-jaga untuk membuat ceritanya lebih lebar. Kalian tahu sendiri 'kan, biasanya murid baru itu tokoh yang paling gampang di-bully sama senior-senior di sekolah. Tapi, apa pun yang diinginkan pengarang padaku, jangan harap dia bisa seenaknya bully  aku titik, gak pake koma.).

Berhubung pengarangnya lagi pusing ngerjain skripsi (aduh, maaf, mbak, nggak sengaja keceplosan. Eh, ini juga nyeplos identitas pengarang ya? Waduh, alamat aku bakal kena omelan pengarang nih), jadi waktunya akan dimajukan sekitar dua bulanan setelah aku mengikuti MOS. (Maaf, ye, kalian jadi nggak bisa liat masa-masa MOSku). Oke, gimana kalau langsung ke cerita aja? Kelamaan pembuka seperti ini, nanti malah keceplosan hal lain-lain lagi dah. Bisa-bisa aku malah curhat sama kalian.

Ya sudah, mari kita ke bagian ceritanya saja.

***

Sekolahnya tak berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya. Bangunannya besar dan luas, warnanya pun krem cerah, seperti bangunan sekolah-sekolah lain. Di beberapa bagian, terdapat halaman yang ditumbuhi pohon-pohon peneduh. Pada papan nama di bagian gerbang depan sekolah tertulis, 'SMA N 1 Jaya Sentosa'. Entah apa maksud dari nama itu, tetapi... berulang-kali dibaca pun, nama sekolah itu mirip seperti nama bis jurusan. (Nama sekolah ini pun fiktif). Keorganisasian siswa di SMA ini juga sama seperti SMA-SMA lain. Ada OSIS, Passus (Pasukan Kedisiplinan Sekolah), Pramuka, PMR, dan lain-lain. Tak ada hal yang aneh dengan sekolah ini. Semua biasa-biasa saja. Ya, itulah yang tampak di depan mata.

Pemuda berkacamata itu menatap orang di depannya dengan pandangan berani. Pada lengan kanannnya terjahit bet tingkat satu berwarna merah, berbeda dengan bet tingkat dua berwarna hijau yang terjahit di lengan seragam orang di hadapannya.

"Saya hanya ingin mewawancara ketua Pasus. Kenapa tidak boleh, Kak?" Bagas menatap kesal senior di hadapannya.

Pemuda berambut cepak yang berdiri di depan pintu masuk ruang Pasus berdecak pelan. "Kan sudah dibilang, Wirya tidak ada di sini. Wirya baru keluar, sedang mengikuti rapat OSIS."

"Masa'?" Bagas memandangnya kesal. "Rapat OSIS 'kan sudah selesai sekitar sepuluh menit yang lalu. Nggak mungkin-lah kalau Mas Wirya masih di ruang rapat."

"Ish," Yudha kelihatan kesal dengan kengototan adik kelasnya ini. "Wirya memang nggak ada di dalam. Kalau kamu mau ngecek, cek saja di ruang OSIS. Kalau kamu mau nunggu, tunggu saja di luar. Selain anggota, tidak ada yang boleh masuk ke ruang Pasus." ia mengetuk-ngetuk pintu ruangan yang tertutup, menunjuk ke arah stiker yang terpasang di depan pintu.

Bagas kelihatan keki. Ada apa sih dengan anggota-anggota Pasus? Kenapa susah sekali bagi mereka untuk bersikap ramah dengan siswa lain yang notabene siswa biasa. Apalagi dia ini wartawan, wartawan sekolah! Harusnya, anggota Pasus berbaik hati dengan wartawan sekolah. Tidak bersikap ketus seperti ini. Di era modern yang mengandalkan informasi, harusnya Pasus membuat pencitraan yang baik di depan wartawan. Tapi itu harusnya, nyatanya, rata-rata anggota Pasus selalu sukses membuat para reporter sekolah keki karena seringkali susah dimintai komentar atau 'komprominya'. Karena itu, anggota surat kabar sekolah memberi julukan pada organisasi ini sebagai, 'The Judes Organization'.

Seperti yang dikatakan pimpinan redaksi surat kabar, dia tidak akan mudah mendapat informasi dari ketua Pasus. Beberapa kali Wirya memang berkelit saat dimintai waktunya untuk wawancara. Namun, setelah sekian hari menunggu dan mendesak, akhinya Wirya memberikan waktunya untuk diwawancara Bagas. Namun, dia memberi syarat, bila Bagas terlambat datang, maka wawancara batal. Berhari-hari penantiannya untuk mengorek informasi dari Wirya, bagaimana mungkin dia melepaskan momen bagus ini?! Sebagai anak baru di surat kabar sekolah, dia tidak akan menyerah begitu saja dengan halangan ini. Dia harus mendapat informasi ini!

"Mas Wirya ada di dalam 'kan, Mas? Aku tadi lihat Mas Wirya masuk ke sini," Bagas tetap berkeras untuk masuk.

Yudha melotot ke arahnya. Ini anak, sudah dibilang kalau ketuanya nggak ada di dalam, kok masih ngotot saja pengin masuk. Lama-lama Yudha keki juga menghadapi Bagas.

"Sudah..." kata-katanya tertahan di mulut saat melihat Wirya datang bersama beberapa anggota Pasus. "Tuh, lihat, Wirya baru datang." dengusnya kesal sambil menunjuk ke belakang Bagas dengan dagunya.

Bagas menoleh ke belakang. Sekawanan siswa yang mengenakan seragam sama sepertinya, tetapi dengan bet yang agak berbeda di lengan kiri, berjalan ke arah ruang Pasus. Wirya, pemuda bertubuh jangkung dan bermata hitam tajam, berjalan dengan raut wajah lesu. Langkahnya lambat dan kedua bahunya turun.

Bagas mengerutkan dahi melihat sikap tubuh kakak kelasnya ini. Apa terjadi sesuatu tadi, saat rapat tertutup antara OSIS dengan Pasus?

"Wirya!" Yudha memanggilnya sambil melambai ke arah ketuanya.

Pandangan pemuda itu, yang semula tertunduk, pun terangkat. Perhatiannya langsung tertuju pada Bagas, anggota surat kabar sekolah. Sejenak, senyum mengembang di wajah Wirya. Pemuda itu pun menghampiri juniornya.

"Wah, kau datang tepat waktu sekali," komentar Wirya sambil berjabat tangan dengannya.

Bagas cuma meringis. Ingin rasanya dia mencibir mengenai keterlambatan Wirya, tetapi ditahannya lidahnya kuat-kuat, tak mau membuat perburuan beritanya gagal.

"Ayo masuk. Sesuai janjiku, kau bisa mewawancaraiku," Wirya masuk ke dalam.

Bagas tersenyum bersemangat. Ia melirik sekilas ke arah Yudha, melemparkan senyum penuh kemenangan, membuat kakak kelasnya memberengut kesal. Ruang Pasus terdiri dari ruang tamu dan ruang ketua. Di dalam ruang tamu, terpajang berbagai fotokopi penghargaan yang pernah dimenangi Pasus dalam perlombaan kedisiplinan antar sekolah. Bagas mengernyit, kira-kira... apa ada perlombaan bagi surat kabar antar sekolah ya?Setelah masuk ke ruang ketua, Bagas duduk di kursi di seberang meja Wirya.

Ruangan Wirya tampak sederhana sekali, hanya ada meja, kursi, kalender, serta bendera Pasus, sekolah, dan bendera Negara di salah satu sudut ruangan. Ketiga bendera itu bersisian dengan bendera merah-putih berada di tengah-tengah dan diikat pada tongkat yang paling tinggi.

"Jadi, informasi apa yang diinginkan surat kabar sekolah dariku?" Wirya menatap Bagas penuh arti.

Bagas membetulkan letak kacamatanya. Ia mengambil pena dan jurnalnya. "Kurasa Mas Wirya sudah tahu apa yang dimau pimpinan redaksiku," Bagas membuka jurnalnya.

"Oh..., masalah tentang Pasus dengan OSIS, ya?" Wirya tertawa pelan.

Bagas mengangguk pelan.

"Aku bisa memberikan informasi ini. Tapi, apa yang dijanjikan Johan padaku kalau aku mau membuka masalah ini?"

Siswa kelas satu itu ternganga mendengar pertanyaannya. Lhoh, kok ada janji-janjian seperti ini?

"Lho, Mas Johan sama sekali nggak ngasih tahu apa-apa tentang itu," jawabnya lugu.

Wirya tersenyum tipis. "Kalau begitu, bisakah surat kabar sekolah melakukan sesuatu untuk Pasus?"

-bersambung-

(sambungannya kapan-kapan, entah kapan cerita ini bisa ditulis lagi)

Jumat, 15 Maret 2013

Para Pengendali Naga


Judul : Para Pengendali Naga, Nyanyian Perang di Tanah Naga
Pengarang : Dhia Citrahayi
Penerbit : Leutikaprio
Tebal : 631 halaman
Harga : Rp 105.300
Genre : Fiksi Fantasi

Ini adalah novel karanganku yang terbit pertama. Sebetulnya, terbitnya sudah bulan januari lalu tetapi, baru bisa kuceritakan di bulan maret ini ^__^

Saat melihat sampul novel ini, apa yang pertama kali terlintas di pikiran kalian? Eragon? How to train your dragon? Atau hal lain? Dan, waktu ngelihat harganya, mungkin kalian bakal mengerutkan dahi sambil merutuk, 'gila..., mahal amir itu buku.'

=))

Kalau soal harga dan covernya, itu udah kupasrahin ke penerbitnya. Memang, penerbitnya penerbit indie si, tapi... novel ini sudah mempunyai ISBN juga, kok. *ngomong gini karena pernah dikomentarin, self-publish kok udah ada ISBN-nya? Kalau itu..., ya~ udah diserahin ke penerbitnya. :D *

Sebetulnya, aku lebih ingin cerita gimana perjalananku sampai buku ini terbit si. Terlepas kalian tertarik atau enggak untuk denger ceritanya. Yah..., sebelumnya, buku ini merupakan cerita yang sempat ku-post di kaskus. Awalnya, ceritanya berupa potong-potongan kejadian (kalau di kaskus emang sengaja potong ceritanya) yang terintregasi menjadi satu. (Cieh... ngomong terintegrasi juga :)) ).

Para Pengendali Naga, berkisah mengenai pergulatan orang-orang di sebuah Kerajaan bernama Avriedhas yang berseteru dengan Raja mereka demi sebuah perjanjian. Perjanjian yang begitu penting sampai mereka rela mengorbankan nyawa demi tetap tegaknya perjanjian itu. Sayangnya, nasib mereka kian lama kian terjepit karena idealisme mereka ditekan oleh kebutuhan mereka untuk makan dan minum. Bertahun-tahun mengalami penindasan, ada juga orang-orang yang tidak tahan sehingga berbalik mengkhianati kawan-kawannya. Sampai akhirnya, pada suatu ketika, salah satu pengendali naga maju dan diam-diam mulai melancarkan serangan balik pada Raja.

Pada ceritanya ini terdengar cukup menjanjikan? :))

Ketika aku mengambil tema mengenai perjanjian, hanya satu yang terpikir olehku yaitu, segitu gampangnya orang-orang di dekatku melanggar janji yang sudah mereka buat sendiri. *Cieh..., jadi ceritanya novel ini temanya sakit hati penulisnya sendiri? :p* Yah... setengah bener, setengahnya kagak. Kadang cuma sebel aja, janjinya jam segini datang, eh... gak taunya gak jadi pergi gara-gara alasan inilah-itulah. Keki iya, gonduk juga iya. Tapi..., sekarang malah ikut ketularan molornya juga =.=

Bagiku, para pengendali naga ini serasa teman yang mau berbagi suka-duka serta pemikirannya denganku. Kata orang, novel itu ibarat anak bagi penulisnya, ya... hampir mirip tapi aku lebih nganggepnya ke teman :D. Saat membuat karakter-karakter di sini, rasanya ingin sekali membuat karakter yang nyeleneh. Seperti misalnya, Zen Aster, salah satu Jendral Da'anrha yang menikah dengan seorang Janda beranak empat. Saking cinta matinya sama wanita yang namanya Kathalya, dia sampai bela-belain buat ngebunuh suami wanita ini. Ada juga Ian Aralefh Cavadros. Dia ini sebenarnya orang baik, sayangnya lemah. Walau termasuk salah satu anggota dewan Jendral, Ian tidak pernah bisa bebas menyuarakan pemikirannya di hadapan kawan-kawannya ataupun Raja. Ada juga tokoh lain seperti Lalita dan Tania. Dua tokoh perempuan yang ditunangkan paksa dan diharuskan menikah dengan pria pilihan keluarganya demi status serta kedudukan.

Hie..., lumayan banyak lho, tokoh-tokoh di novel ini :D

Dan, terus terang saja, kalian belum bisa mengambil inti cerita kalau cuma membaca 60-70 halaman pertama novel. Cerita baru dijelasin pelan-pelan dari tengah buku sampai akhir. Baru setelah itu, kalian bisa menarik kesimpulan dari cerita ini secara keseluruhan. *wuuu...(disoraki sama pembaca)*

*penulis yang baik harusnya 'kan memberi gebrakan di awal bagi pembaca supaya pembaca tertarik buat nuntasin itu buku?!!*

Hahaha, mungkin tulisan menggebrak yang ada dibayangan tiap pembaca berbeda dengan gebrakan dalam benak penulis. :hammer:

#eaaa, ntar kena omelan lagi *minggat*

- balik ke jalan yang benar -

Apa ceritanya bagus? Menarik?

Itu relatif. Tiap orang berbeda-beda menanggapinya. Di Goodreads, ada yang memberinya bintang 4 tetapi, ada juga yang ga segan memberinya bintang 2 karena nggak sanggup membaca semua cerita. Saia mah sebagai penulis tentu memberikan rate yang tinggi buat karya sendiri :D. Tapi, sebagai pembaca, tetap saja gak bisa ngasih rate buat karya sendiri. Bukan karena saya gak puas tetapi, saya tidak akan menemukan obyektifitas dalam subyektifitas saya.

Karena itu, saya memilih golput ngasih rate ke buku sendiri. :D

Buku ini dijual secara online di situs Leutikaprio. Ada juga bukunya yang kujual di toko buku pandora semarang, harganya lumayan turun dikit karena ada diskonan :p

Akhir kata, gak ada karya yang sempurna, yang ada adalah karya yang mendekati sempurna. Saat ini, saya sedang menulis novel lain untuk pembandingan cerita antara para pengendali Naga dan cerita tersebut. Well, doakan saya semoga saya bisa menyelesaikannya tepat waktu ya (^___^)

Insya Allah, setelah selesai menulis cerita baru itu, saya akan konsen lagi nulis sequel para pengendali Naga. E, tapi, keknya skripsi dulu yang bakal dikelarin :))

Selamat malam,

Dhia Citrahayi / Cahaya Senja



Selasa, 15 Januari 2013

Orang ketiga Pertama

Sudah beberapa hari lewat setelah pertemuan kami di Aquada sana. Setelah beristirahat di kota itu dan menyembuhkan luka di leher, kini aku pergi ke Thovells. Ada surat yang baru tiba, diantar oleh Makhluk Abdi tingkat rendah yang biasa digunakan para hunter untuk berkomunikasi, dari Asosiasi yang memintaku untuk segera pergi ke Ibukota Aquamarine. Apakah ada sesuatu yang berbahaya hingga Ajid, pimpinan Hunter, menyuruhku untuk datang ke markas kami yang ada di Thovells? Ah, bukan hanya aku. Di surat tadi, berisi untuk semua hunter. Berarti, para hunter yang ada di luar Aquamarine akan ditarik ke Thovells. Ada apa sebenarnya? Dahiku berkerut.

Thovells, lama aku tak mengunjungi kampung halamanku ini. Kuda yang kunaiki melaju kencang di atas jalanan berbatu. Mungkin sudah dua tahun aku meninggalkan tempat itu. Aku memecut kudaku, supaya kuda itu berlari lebih kencang lagi. Senangnya bisa kembali ke tempat di mana aku dididik dan dibesarkan. Aku tersenyum. Dan kemungkinan, aku bisa bertemu dengannya lagi, Detha, tunanganku. Kami berpisah setahun yang lalu saat dia ditugaskan ke wilayah Zamrud sedangkan aku ke Amber. Walau begitu, kami masih sering berkirim surat dan saling menanyakan bagaimana keadaan kami di wilayah perburuan kami. Membayangkan bagaimana wajah Detha membuatku bersemangat. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya!

***

Ada banyak hal yang tidak bisa ditebak. Entah itu kematian, rejeki, bahkan... kesialan, kita tidak mampu menebaknya akan terjadi kapan, di mana dan seperti apa intensitasnya terhadap diri kita. Beberapa jam yang lalu aku sudah sampai di Thovells. Setelah pergi ke asrama hunter, aku pergi ke markas besar. Di sana, aku bertemu dengan kawan-kawan lamaku. Rasanya menyenangkan, bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang kusayangi, yang dulunya mati-matian berjuang hidup bersamaku di tempat ini. Namun, rasa senang itu sirna ketika Ajid, ketua Asosiasi, memerintahkan kami untuk berkumpul di ruang besar. Saat itu, orang yang kurindukan muncul di sana. Detha... bersama seorang wanita. Wanita yang sedang hamil?!

Aku terpaku sesaat ketika melihat Detha mengamit tangan wanita itu. Keduanya tampak bercanda sesaat sebelum masuk ke ruang besar, tempat perjamuan untuk seluruh Hunter. Langkah Detha terhenti sesaat ketika dia melihatku. Ada kilat rasa malu serta tidak nyaman ketika dia bertatapan denganku. Pria itu memalingkan wajahnya dari hadapanku dan berlalu tanpa mau menyapaku bersama wanitanya.

Seseorang menepuk bahuku, membuyarkan keterkejutanku. “Pesta akan segera dimulai,” Ulfa, salah satu kawanku, tersenyum padaku.

Ekspresi wajahku pasti terlihat aneh karena Ulfa mengernyitkan dahi saat melihatku diam saja. Lirikanku tertuju ke arah Detha yang ada di sudut ruangan bersama wanitanya. Ulfa tampak memahami apa yang kupikirkan.

“Siapa... wanita itu?” tanyaku kaku.

Ulfa menatapku kaget. “Kau belum tahu siapa dia?”

Aku mengangguk kalem.

“Jangan-jangan... Detha juga belum memutuskan pertunangan kalian?” Ulfa kembali kaget.

“Apa yang terjadi, Fa?” tanyaku lirih. “Aku tidak tahu apa-apa. Dia sama sekali tak menceritakan tentang apapun.”

“Detha kurang ajar,” Ulfa menggeram ringan. Ia mendelik ke arah Detha. “Kukira dia sudah memberitahumu dan memutuskan pertunangan kalian. Terakhir saat aku mendatangi upacara pernikahannya, dia mengatakan kalau pertunangan kalian sudah berakhir.”

“Upacara pernikahan...” Aku terperangah mendengarnya. Detha sudah menikah?!!!

***

Kupandangi lelaki itu dengan tatapan benci di depan luar asrama hunter. Saat ini, kami hanya berdua. Aku sudah meminta waktunya tadi saat berada di ruang besar. Aku ingin tahu dengan sejelas-jelasnya, apa yang sedang terjadi saat ini.

“Apa maksudmu Detha?” tanyaku dingin. Ingin rasanya aku menampar lelaki ini kuat-kuat. “Kenapa kau tidak mengundangku ke acara pernikahanmu?” sindirku tajam.

Detha diam, menatap lurus ke arahku. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Aku tak bisa.” Jawabnya kalem. “Aku tak mungkin mengundangmu.”

“Kenapa? Kau takut aku merusak acara pernikahanmu?” desisku sinis.

“Aku takut menyakitimu.” Jawabnya kalem.

“Kau bahkan lebih menyakitiku karena menyembunyikan ini semua.” Geramku. “Kenapa kau melakukan semua ini tanpa memberitahuku dulu?” tanyaku getir.

Detha menatapku serius. “Aku minta maaf karena sudah membuatmu sakit hati, Riu. Namun, saat bertemu dengan Lilan dulu, aku merasakan cinta yang lebih dalam dari rasa cinta kepadamu. Awalnya, kukira ini hanya simpati tetapi, makin lama, aku makin mencintai Lilan.” Sorot matanya tampak sayu. “Kemudian aku berpikir, aku adalah hunter. Kau tahu sendiri, tugas kita membuat kita berhadapan dengan maut. Jika aku menikah denganmu, bagaimana dengan anak-anak kita nanti? Kasian jika anak-anak itu kehilangan kedua Orangtuanya.”

“Karena itu kau memilih Lilan?” tanyaku serak.

Detha mengangguk. “Aku memang bersalah karena tak memberitahumu. Maafkan aku, Riu.”

“PLAAK!!”
Kutampar dia sekuat tenagaku. Detha hanya diam, tak membalas sikapku.

“Terima kasih... atas kebodohanmu, Detha,” cetusku sakit hati.


#Flash Fiction - Day 3

Senin, 14 Januari 2013

#13HariNgeblogFF, Day 2 - Pukul 2 Dini Hari

Di sini aku berdiri.

Angin malam berhembus kencang. Suasana tampak sepi senyap. Tak ada lalu-lalang orang-orang di jalanan desa. Walau tidak terlalu kentara tetapi, aku bisa merasakan ketakutan di balik gubuk-gubuk kecil ini.

Berdiam di tempat yang dingin, bersembunyi dalam kegelapan. Di balik bayang-bayang lorong antara rumah-rumah kayu, aku memegang kedua pedang pendekku erat-erat. Meninggalkan semua kenyamanan di penginapan tadi, sekarang, aku harus kembali ke realita pekerjaanku, Hunter. Aku berbisik pelan, berdoa kepada Sang Pemberi Kekuatan agar bisa menaklukkan buruanku yang paling menjengkelkan.

Setelah beberapa bulan aku kehilangan jejaknya, seminggu yang lalu aku mendengar desas-desus kalau dia akan kemari, ke Aquada. Yah, ini sebenarnya sama saja untung-untungan. Namun, aku harus memastikannya. Jika dia ada di sini, aku akan menghabisinya, segera!
Kupejamkan kedua mataku, berusaha berkonsentrasi pada instingku. Tengah malam sudah lewat tetapi, pagi juga masih lama. Belajar dari kebiasaannya, aku tahu, pukul dua dini hari adalah waktu kesenangannya untuk keluar. Di tengah antara pertengahan malam serta pagi hari. Sejenak, aku terperangah dan segera berbalik. Kuacungkan salah satu pedangku ke arahnya. Sial, bagaimana aku bisa teledor!

“Halo, Hunter,” seringai mengejek muncul di wajahnya. Pria berambut merah pendek itu duduk dengan santai di atas kotak-kotak kayu yang tersusun rapi di antara lorong tempatku bersembunyi.

“Halo juga, Vampir!” geramku.

Pria itu tertawa ringan. Sepertinya dia senang membuatku kaget. “Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan hunterku di sini? Memburuku lagi?” ekspresi wajahnya terlihat mengejekku.

“Tentu saja,” jawabku kesal. “Memangnya aku kemari untuk memancing?” semprotku galak.

Dia kembali tertawa. “Coba kita hitung, berapa kali kau berusaha menangkapku dan membunuhku...” tiba-tiba dia menghilang dan muncul di belakangku. Tubuhku menegang kaku ketika mendengar suaranya. “Sepuluh kali? Lebih dari itu kau, kalian mencoba membunuhku. Tapi pada akhirnya, kalian selalu gagal.” Bulu kudukku berdiri ketika merasakan hawa dingin darinya.

Kudengar dia menarik nafas dalam-dalam. Aku menelan ludah. Dia sedang membauiku, mengingat baik-baik bagaimana aroma tubuhku.

“Aku selalu suka dengan aroma tubuhmu.” Katanya ringan. “Tapi, bagi seorang wanita sepertimu, menjadi hunter bukan pilihan yang baik.”

“Menjadi hunter adalah pilihanku!” Aku berbalik, menebaskan pedangku ke arahnya. Dan..., dia sudah menghilang.

Aku mendelik ke arahnya yang sudah duduk kembali di tempatnya semula.

“Hunter yang bersemangat.” Ia tertawa mengejek.

“Vampir menyebalkan,” balasku jengkel.

Ia tergelak kembali. “Dengar Nona Hunter yang manis...” Pria itu bersandar dengan santai pada dinding rumah. “Saat ini aku sedang sibuk mengatur kawananku. Aku tak punya waktu untuk meladenimu dan kawan-kawan huntermu.” Ia berdiri dari tempatnya duduk. Pendar merah pada bola mata hitamnya menguat. “Aku punya pesan untuk Ketua Huntermu, jangan seenaknya membantai kawananku. Kalau kalian mau membunuh Vampir liar, itu terserah kalian. Namun, kalau kalian membantai kawananku, kalian akan berurusan denganku.”

“Kami membantai Vampir yang bersalah! Tak peduli itu kawananmu atau bukan.” Balasku dingin.

“Tapi aku peduli,” ia tersenyum mengerikan. Sebelum aku sempat beranjak, dia lagi-lagi berada di belakangku. Tubuhku menegang kaku saat jari-jarinya yang dingin menyentuh tengkuk leherku.

“Dengarkan aku...” Ia berbisik di telingaku. “Jika ketuamu masih senang mencari gara-gara denganku, akan kupastikan dia akan kehilangan hunter-hunternya yang piawai. Akan kubuat mereka jadi pelayanku, termasuk kau, Riu.” Ucapannya membuatku mematung.

“Lebih baik aku mati daripada menjadi Vampir!” geramku tertahan.

Dia terkekeh. “Tenang saja, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah.” Cetusnya mengejek. “Nah..., sekarang biarkan aku pergi, Hunter. Dan, ingat kata-kataku tadi! Aku tidak main-main.” Saat bibirnya yang dingin menyentuh leherku, aku baru tersadar apa yang dia inginkan.

Terlambat! Aku meringis ketika taringnya menembus kulit leherku. Sakit dan panas, itu yang kurasakan. Kudengar dia meneguk darahku kemudian, dia membalikkan tubuhku dengan cepat dan...

“Ngh...!!!” Aku berusaha memberontak darinya. Dia menciumku! Aku berusaha melawannya tetapi dia menekanku ke dinding rumah. Darah! Aku bisa merasakan dia memaksa meminumkan darah yang terasa pahit dan kental, penuh dengan racun, darahnya!

“Ahk....” Nafas kami sama-sama tersengal.

Ia menyeringai ke arahku, merasa puas dengan apa yang telah dia perbuat. Sementara aku menatapnya geram dengan penuh kebencian. Ia telah menandaiku!

“Sampai jumpa, Hunter.” Ia mengusap sudut bibirku yang berdarah. “Aku akan melihat perkembangan kalian dan menanti kedatanganmu lagi, dengan sukarela.” Senyum sinisnya membuatku muak. Kemudian, tanpa kata-kata, dia pergi bagaikan angin, meninggalkanku yang diam terduduk di lorong.


Nyeri yang kurasakan pada leherku belum juga hilang. Aku mendesah pelan. Sekarang..., aku menjadi setengah pelayannya!

Minggu, 13 Januari 2013

Kenalan Yuk! - Naga Hitam


Apa keputusannya tepat? Bocah laki-laki berusia sembilan tahun itu diam termangu di tengah hutan kecil yang ada di sisi lain wilayah Da’anrha Utara. Sengaja dia membolos dari Akademi. Selain karena tidak ingin diejek oleh kawan-kawannya karena Ayahnya telah menikah lagi, dia juga ingin mencoba sebuah benda kecil pemberian Ayahnya dulu.

Anak itu mengambil sesuatu dari saku celananya. Ia menatap benda itu, sebuah batu kristal cantik berwarna hitam bening. Jika kristal itu didekatkan pada cahaya, maka cahaya bisa menembusnya, membuat benda itu mudah diterawang. Si bocah duduk di atas rerumputan. Ia mengamati batu kristal ini. Angin berhembus kencang, memainkan helaian rambut hitamnya yang pendek dan menggerakkan dahan-dahan pohon di sekitarnya, menimbulkan suara gemerisik yang ramai.

Tatapannya terlihat agak ragu ketika hendak menggenggam batu kristal ini. Namun, kemudian dia menggenggamnya sambil memejamkan kedua matanya. Kehangatan itu mulai terpancar dalam genggamannya yang kecil. Bocah itu berusaha berkonsentrasi seperti apa yang telah diajarkan Ayahnya dulu. Gigi-geliginya bergemelutuk saat dia berusaha mencapai alam sang pemanggil.

“DEG...!!!”
Jantungnya berdegup keras ketika sekelebat bayangan hitam melintas dalam pikirannya. Kedua matanya membelalak lebar sementara nafasnya memburu. Xiesht menatap batu kristal itu, ngeri.

“Tidak...” ia menggeleng pelan dengan sorot mata ketakutan. “Tidak mungkin kalau aku...” Kedua tangannya gemetaran. Xiesht cepat-cepat menyimpan batu kristal itu ke dalam tasnya.
Ia merasakan ketakutan ketika mencoba menggapai pemanggilnya. “Aku tidak mau...” gumamnya lirih dengan tubuh menggigil. “Aku tidak mau seperti Ayahku.” Isaknya.

***

Malam menjelang. Xiesht kecil sudah masuk ke dalam kamarnya lebih dulu, sebelum kepala pelayan memintanya untuk tidur. Anak itu berbaring di atas tempat tidurnya. Ia kembali menatap batu kristalnya. Kristal ini... adalah kristal Naga. Kristal yang tidak bisa didapat oleh sembarang orang. Ayahnya mendapatkan batu kristal ini secara khusus dan memintanya... untuk mulai belajar memanggil Naga.

Tidak! Xiesht mengatupkan rahangnya. Kegeraman terlihat di sorot matanya. Ia tidak akan menjadi pengendali Naga! Dia tidak mau jadi pengendali Naga!
Xiesht meletakkan batu itu di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ia berbalik, membelakangi batu itu dan memejamkan kedua matanya, tidur.

***
Di mana ini? Xiesht mematung di tempatnya berdiri ketika mendapati dirinya berada di suatu tempat yang gelap dan dingin. Ia menoleh ke sana kemari tetapi tak mendapati apapun selain dirinya sendiri.

“Selamat datang,” sebuah suara yang berat terdengar menggema di tempat itu, membuat Xiesht bergidik ngeri.

“Siapa kau?!” serunya sambil menoleh ke sana-kemari, mencari sosok pemilik suara itu.

Sebuah bayangan mewujud, membentuk sosok besar bermata merah menyala dengan tubuh terikat rantai. Tatapannya tampak garang ke arah anak itu. Tubuh Xiesht menegang kaku melihat wujud hitam besar yang belum membentuk badannya dengan pasti ini. Tubuh kecilnya gemetar pelan saat kepala sosok itu menjulur ke arahnya.

“Si...Siapa kau?” tanyanya ketakutan.

Sosok itu diam sejenak. Kemudian dia mendengus, menahan tawanya ketika merasakan ketakutan dari arah Xiesht. “Apa aku membuatmu takut?” tanyanya setengah mengejek.

Xiesht menelan ludah, diam.

“Bagaimana kau tidak mengenaliku padahal suara kita sudah saling bersahutan?” mata merahnya mengarah pada Xiesht. Tatapannya yang liar membuat nyali anak itu ciut.

“Kau... Kau Naga?” Xiesht membelalak, menatapnya tak percaya.

“Kau kira aku apa? Setan?” Bayangan Naga itu tertawa geli.

“Apa yang kau inginkan dariku?!” bentak Xiesht, menyembunyikan kegugupannya.

“Apa ya?” Naga itu memiringkan kepala, pura-pura berpikir. “Kau pikir, apa yang kuinginkan darimu di tempat seperti ini?” tanyanya dingin.

Xiesht menatap sekelilingnya yang kosong. Tempat ini terasa hampa dan... menyeramkan. Kemudian, tatapannya tertuju pada rantai yang membelit si Naga.

“Kebebasan.” Satu kata dari mulut Naga itu membuat Xiesht diam terpaku.

Kebebasan bagi si Naga tetapi, dirinya yang akan terbelenggu dalam perjanjian. Ayahnya... pernah mengatakan tentang hal ini. Namun, satu lagi pertukaran dari Naga itu adalah... Dia akan mendapat kekuatannya. Kekuatan elemental yang besar!

“Kau tertarik, bocah?” Naga itu menyeringai melihat perubahan wajah Xiesht.

“Namaku bukan bocah, namaku Xiesht!” seru Xiesht kesal. “Xiesht Erast Hast, putra calon Jendral Da’anrha Selatan!”

Sang Naga terkekeh mendengar kemarahannya. Sepertinya dia mendapat majikan yang menarik.

“Siapa namamu?” Xiesht menatapnya.

“Itu adalah tugasmu, Xiesht,” Naga itu membungkuk. “Memberiku nama adalah tugasmu.”

Xiesht terdiam, berpikir. Ia lalu menatap Naga itu mantap. “Aku memberimu nama... Gray!”

Sang Naga menarik nafas dalam-dalam, merasakan jalinan kekuatan merasuki tubuhnya saat namanya ditetapkan. Rantai yang membelit tubuhnya melonggar. Kekuatannya perlahan-lahan menyebar. Kedua matanya berubah menjadi kelabu dan menatap Xiesht ramah. “Salam... Tuanku.” Senyumnya mengembang.

Selasa, 28 Agustus 2012

Harian 6 : Terlalu Banyak Ide

Apa kalian pernah mengalami saat itu? Saat kalian pada posisi begitu gembira, begitu enerjik sampai-sampai ide yang ada di dalam kepala kalian ingin kalian tuliskan semuanya ke dalam sebuah kertas? Apesnya, kalau ide-ide itu nggak bisa dikoordinir atau direncanakan dengan baik, jatuhnya malah jadi hilang sia-sia atau malah jadi ide mengambang. Apalagi kalau pikiran harus fokus ke ini-itu, bisa-bisa, ide-ide itu tidak terealisasi.

Sepertinya, sebuah catatan akan membantu untuk mengakomodasi waktu, pikiran, dan terealisasinya ide-ide itu. Akhir-akhir ini, aku keteteran dalam mengorganisir kegiatan serta waktuku. Akhirnya, nggak semua rencana terlaksana, bahkan, ada satu rencana yang terpaksa hangus karena jadwal penyerahan lamaran pekerjaan udah lewat ._.

Jadi orang ternyata harus pintar-pintar membagi waktu. Awalnya, dulu, aku sering menyepelekan masalah pengorganisasian waktu ini. Namun, setelah ada banyak kegiatan dan beban tanggung-jawab dari forum-forum tertentu, aku jadi berpikir ulang. Tidak mungkin aku bisa mengikuti semuanya dalam satu waktu bersamaan. Harus ada pembagian porsi waktu yang tepat untuk semua itu dan jangn lupa, porsi waktu pribadi pun tidak boleh dilupakan -__-" (sekarang udah tinggal bareng ortu lagi, gak sebebas waktu masih tinggal bareng anak-anak kos --").

Namun, sekalipun sudah bikin agenda atau jadwal waktu untuk masing-masing kegiatan, bukan berarti bisa terlaksana dengan baik. Semua akan bermuara pada si pembuat agenda atau pelaksana kegiatan itu, apakah dia mau disiplin dengan agendanya atau tidak (pengalaman tidak pernah disiplin dengan agenda) sekali saja tidak disiplin, jadwal bisa keteteran lagi. Kalua tidak ingin mencoret salah satu kegiatan, pasti akan melaksanakan kegiatan lain dengan terburu-buru. Ternyata oh ternyata, disiplin memang merupakan suatu budaya yang sangat diperlukan dalam manajemen hidup. ._.

#geplak pake kue tart buah hmm..., harus belajar bersabar dan berdisiplin dengan agenda sendiri *menundukkan kepala* nulis agenda acara buat besok dulu kalau begitu :ngacir:

Selasa, 10 Juli 2012

catatan 21 : Sebuah Buku

Malem-malem, nggak bisa tidur. Padahal siang tadi udah minum obat masuk angin smapai dua sachet. Duh... -___-"

Gara-gara nggak bisa tidur, pikiranku malah ngelamun nggak jelas sampai keingetan sama sebuah buku yang pernah kubaca dulu. Aku lupa judul dan pengarangnya siapa tapi, aku ingat sebagian besar isi buku itu. Yang jelas, pengarangnya pengarang luar deh. :D

Buku ini menceritakan mengenai seorang gadis muda remaja, berumur mungkin antara 13-15 tahunan. (Pokoknya umurnya kurang dari 17 tahun *mringis*). Jadi, dalam suatu konser, gadis muda ini tidak sengaja bertemu dengan seorang lelaki yang ternyata penderita HIV. Si gadis yang masih polos dan belum mengerti apa-apa, akhirnya menjalin hubungan dengan lelaki ini sampai pada akhirnya, dia dipaksa untuk melakukan hubungan seks. Setelah melakukan hubungan ini, si lelaki baru memberitahu kalau dia penderita HIV/Aids. Terus terang saja, gadis ini syok mendengar pengakuan laki-laki itu. Dalam hati dia bertanya-tanya, apa salahnya sampai laki-laki itu tega menularkan virus itu ke tubuhnya?!

Dari titik itu, pergolakan di dalam diri si gadis mulai terjadi. Mentalnya mulai jatuh dan dia meratapi nasibnya karena sudah tertular penyakit mematikan tersebut. Lingkungannya menjauhinya sekalipun ada satu-dua anak yang masih tetap mau berteman dekat dengannya. Sementara laki-laki yang menularinya penyakit itu..., pergi tanpa meninggalkan jejak, seolah puas karena sudah balas dendam dengan menularkan penyakit itu pada orang lain.

Namun, hidup terus berjalan. Atas dukungan dari keluarga maupun kawan-kawan dekatnya, gadis itu mulai ceria kembali. Dia mulai menikmati hidup sekalipun tahu bahwa umurnya tidak akan lama. Dilema sempat terjadi saat dia menyukai kawan sekelasnya dan... ternyata kawannya itu juga menyukainya!! Hubungan mereka berdua sangat dekat bahkan saking dekatnya, hampir saja gadis itu juga menulari orang yang disukainya dengan penyakit itu. Tapi, untung saja si gadis tersadar sehingga dia berhenti melakukannya. Dia... tidak tega menulari orang yang ia cintai dengan penyakit yang dideritanya. Sungguh gadis ini berada di posisi yang dilematis di mana dia ingin berdekatan dengan orang yang ia cintai tapi kondisi tubuhnya tidak memungkinkan bagi dirinya untuk hal tersebut.

Akhir dari buku ini, si gadis meninggal dunia sementara, lelaki yang menularinya virus HIV ditangkap setelah jejaknya terlacak karena dia berusaha menulari salah satu teman sekolah si tokoh utama. Untunglah si tokoh utama sempat memperingatkan temannya itu sehingga temannya bisa selamat dari bujuk rayu si penjebak.

Buku ini berdasarkan kisah nyata, kalau tidak salah, latarnya di Amerika sana. Di dalam buku ini, banyak pesan moral yang bisa kupetik. Yah, walaupun pada dasarnya di awal udah nggak minat duluan *gara-garanya si empunya buku bilang kalau ini mengenai kehidupan seks di Amerika sana*. Tapi, karena si empunya buku bilang buku ini bagus, mau nggak mau nyoba buat baca buku ini dan bener, buku ini memang bagus. :)

Kehidupan seks bebas di luar negeri sana memang bisa dikatakan sudah biasa, saking biasanya, saya sampai mrengut karena pas baca buku ini, si tokoh utama benar-benar digambarkan seorang gadis yang polos dan lugu. *Ehm..., gimanapun rupanya nggak bisa menilai semua dari satu ataupun satu untuk semua*

O, ya, sebelumnya, masih ingatkah kalian dengan rumor mengenai korban HIV yang sengaja menusukkan jarum ke tubuhnya sebelum menaruh jarum tersebut di sela-sela kursi bioskop? Berita ini sempat santer terdengar selama berhari-hari dan membuat masyarakat resah, bahkan gara-gara rumor ini, bioskop menjadi sepi unuk beberapa hari. Atau rumor mengenai tusuk gigi yang dipakai kemudian dikembalikan lagi ke wadahnya. Untuk kepastian apakah rumor itu benar atau tidak, aku kurang tau. Namun, bukankah ada kemiripan dalam cerita di buku tersebut dengan rumor yang sempat beredar? Kemiripan mengenai keinginan balas dendam oknum penderita HIV kepada orang-orang yang sehat.

Terus terang saja, aku sempat marah, tidak percaya, kasihan, dan benci pada oknum yang membuat si tokoh utama tertular penyakit HIV pula. Bagaimana tidak? Seandainya, dirimu di posisi gadis itu, apa yang kamu rasakan? Kemarahan karena masa depanmu terenggut secara paksa? Ketidakadilan karena kamu ditulari penyakit yang tidak kamu harapkan? Kesedihan akibat lingkunganmu menolakmu? Emosi-emosi itu membuat saya menjadi tercenung dan hanya bisa bergumam dalam hati, 'Jika saya ada di posisinya, mungkin saya akan marah pada lingkungan saya atau bahkan lebih memilih untuk mati saja.'
Tapi, apa salah lingkungan? Apa salah dia sampai mereka harus ikut menanggung kemarahan kita? Ketika membaca di bagian di mana, si tokoh utama mulai diterima oleh lingkungan dan kembali bersemangat untuk hidup, aku cukup terpukau dengan perubahan kondisi kejiwaannya. Dia mulai menerima kenyataan dirinya yang sudah tertular HIV dan dia tidak membiarkan orang lain ikut tertular penyakitnya juga!! Ini tercermin saat orang yang disukainya mengajaknya bermesraan dan disaat hasrat mereka sama-sama sudah tidak bisa dikontrol, dia menolak pemuda itu karena ingat, dirinya bisa melukai pemuda itu. *padahal si pemuda udah rela kalau ketularan juga* :'(

Sampai akhir membaca buku ini, aku trenyuh dengan nilai-nilai sosial dalam buku ini. Ternyata, buku ini nggak seperti yang kubayangkan. Sayang, udah lupa ama judul, penulis, bahkan ampe covernya juga kelupaan. hehehe....

Rupanya, kedewasaan seseorang itu tidak bisa dinilai dari umurnya dan kebebasan seseorang, tergantung dari kedewasaan serta hati nuraninya. Sebebas-bebasnya individu, dia tetap harus ingat mengenai dirinya sendiri dan juga orang lain. :)