Sabtu, 30 Oktober 2010

Sang Penari Merak

Gadis bergaun hijau muda lembut itu menggerakkan kedua tangannya. Kedua matanya yang berwarna hitam, memandang teduh sekelilingnya tanpa ada rasa sama sekali. Tubuhnya bergerak gemulai, menampakkan kecantikan sang merak yang elok. Kain-kain panjang yang menyelubungi tangannya tergerak ke atas dan ke bawah, berputar dan membentuk bayangan-bayangan indah dalam udara.

Kepekatan malam yang indah membuat suara kecapi dan seruling makin terasa syahdu. orang-orang berdecak kagum menyaksikan tarian mereka yang indah dan elok dipandang. Tak sedikit di antara orang-orang itu membawa pasangan mereka untuk menyaksikan tarian terkenal di pinggir danau besar nan indah. Suara biduanita yang merdu mengalahkan suara-suara malam yang kaku. Semua orang terhipnotis dengan tarian sekelompok orang itu. Pandangan mereka sama sekali tidak teralih pada wajah-wajah bercadar putih tipis yang menarikan tarian indah ini.

Di sudut matanya yang indah, gadis bergaun hijau muda lembut itu mencuri pandang ke arah seorang Pria berpakaian hitam yang tengah menikmati pertunjukan mereka. Sebetulnya, gadis itu memakai pakaian sama dengan kawan-kawannya, yang membuatnya berbeda adalah tatapan malu-malunya pada orang-orang di hadapannya. Ia tampak lebih sering menundukkan pandangannya dan berkonsentrasi pada tariannya daripada melemparkan dengan bebas pandangannya pada siapapun.

Gadis itu tak mengenal Pria berpakaian hitam itu sepenuhnya. Yang ia tahu, seminggu sekali, Pria itu akan datang kemari menyaksikan pertunjukan tarian mereka. Jantungnya berdegup ringan ketika pandangan mereka tak sengaja berpapasan. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Hampir saja dia salah melakukan gerakan karena kaget, dipandangan setajam itu oleh Pria tersebut. Hatinya bergetar tidak karuan. Sudah lama sekali ia memperhatikan Pria ini dari kejauhan dan... hatinya mulai merasakan sesuatu yang meresahkan serta sedikit menyakitkan.

Selendang-selendang panjang berwarna hijau lembut menari-nari di udara, di antara angin-angin malam yang dingin. Ingin sekali..., dirinya berkenalan dengan Pria itu tetapi, apa daya, dia merasa malu untuk berkenalan langsung dengan salah seorang pengunjung mereka. Lagipula..., jika Pria itu punya kedudukan tinggi, apakah cintanya bisa terbalas? Ah..., gadis itu berdecak resah dalam hatinya. Ia berdoa, semoga... Pria itu berasal dari kalangan biasa saja. Namun..., sepertinya itu hal yang mustahil karena rata-rata pengunjung yang datang ke tempat ini merupakan orang-orang kalangan atas yang menyukai kesenian.

Langkah-langkah kaki kecilnya mengikuti iringan petikan kecapi yang lembut. Rambut hitamnya yang bergelombang diikat dengan rapi. Terdapat hiasan rambut emas berbentuk mirip seperti bulu merak diujungnya. Sekarang, pandangannya kembali terarah pada Pria itu. Sejenak, ia tertegun dalam kediamannya saat melihat seorang wanita bergaun merah jambu lembut duduk dengan anggun di sampingnya. Perasaannya hancur seketika ketika melihat kemesraan serta rasa kasih di antara keduanya. Sekarang..., ia sadar, bahwa dirinya... hanya mengharapkan hal yang sia-sia.

Merak-merak itu menyelesaikan tarian mereka hingga akhir. Gadis itu sendiri menahan air matanya yang sudah hampir turun ke pipinya. Ia berusaha menyelesaikan tariannya sekalipun perasaan pada hatinya membuat seluruh tubuhnya enggan untuk bergerak. Ketika musik telah selesai didendangkan dan para penari selesai menarikan tariannya, seluruh orang yang ada di tempat itu bertepuk tangan dengan wajah terkagum-kagum. Berapa kalipun mereka menyaksikan tarian ini, tetap saja rasa kagum itu tidak pernah sirna.

Selesai memberikan penghormatan kepada pengunjung, para penari itu pergi dari panggung mereka yang berupa lapangan bebas berumput dan masuk ke dalam sebuah rumah besar berukiran indah. Di sana..., pecah sudah kesedihan sang gadis. Cintanya... telah tertolak sebelum ia sempat mengutarakannya pada Pria yang disukainya.
***

Keesokan harinya....
"Pagi, Thyan...," seorang pemuda berpakaian putih dan bercelana panjang biru, mengagetkan si gadis yang tengah menjemur pakaian di belakang asramanya. Pemuda berambut hitam pendek itu muncul dari atas pohon secara tiba-tiba.

"Li...?! Kau selalu saja mengagetkanku," gadis yang bernama Thyan itu menggerutu dengan kedatangan kawannya yang merupakan anak pemilik asrama. "Apakah kau tidak bisa datang dengan mengucapkan permisi?" ia kembali menjemur baju luarnya.

"Baiklah, Nona Thyan," Li tersenyum usil. "Permisi..., apakah aku mengganggumu?" tanyanya yang jelas-jelas jawabannya sudah pasti. Ia lalu meloncat turun dari atas pohon dan membantu Thyan menjemur pakaian para penari yang lain.

"Hei...!! Ibumu akan memarahiku kalau tahu kau ikut menjemur pakaian Kakak-kakak yang lain," ia segera merebut baju yang ada di tangan Li dan menyuruh pemuda itu jauh-jauh dari dirinya.

"Ah..., santai sajalah, Thyan," Li merebut pakaian yang ada di tangan gadis itu. "Ibuku tidak akan tahu kalau kau tidak memberitahu. Lagipula, kalau beliau datang, aku bisa segera bersembunyi. Jadi..., kau tidak akan dimarahi." ujarnya dengan senyum simpul yang khas.

Thyan diam. Bicara dengan pemuda ini hanya akan menghasilkan perdebatan saja, jadi..., ia putuskan untuk membiarkan pemuda itu membantunya.

"Hari ini kau ada latihan?" tanya Li.

"Tidak ada," jawab Thyan pelan. Ia teringat kejadian malam tadi. "Kemarin pementasan, jadinya... hari ini istirahat."

"Wah..." raut wajah Li tampak senang. "Kalau begitu..., bagaimana kalau kita pergi ke pusat kota?" ajaknya. "Di sana sedang ada pasar malam, lho."

Thyan mengerutkan dahinya. "Ibumu benar-benar bisa marah padaku, Li."
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar