Rabu, 16 Februari 2011

Pengejar Tanpa Batas

"Setiap apa yang terjadi..., merupakan informasi yang patut direkam dan ditulis. Apa yang telah terjadi... adalah pembelajaran untuk masa depan yang lebih baik. Informasi... merupakan sesuatu yang penting dan berharga. Namun... terkadang.... dengan sedikit intrik dan kecerdikan, informasi itu bisa dirubah sesuai keinginan si pemegang informasi."

Rina mengutak-atik kamera barunya. Beberapa kali, ia megambil gambar di taman kota yang indah. Gadis itu sama sekali tak mempedulikan teriknya sinar matahari siang yang panas. Ia masih saja asyik mengambil beberapa gambar di taman itu. Sesekali, itu tersenyum dan tertawa melihat hasil jepretannya yang lucu atau kurang bagus.

"Aku... ingin menjadi jurnalis profesional."
***
Beberapa kali, Rina menekan tombol delete pada notebook hitamnya. Ia berpikir sejenak, kemudian menulis kembali mengenai keindahan taman kota. Hmmm..., Rina sedang menyelesaikan tulisannya. Gadis berambut ikal panjang dan dikuncir itu tengah mengerjakan hobinya di salah satu bangku taman yang ada di bawah pohon besar. Ia lalu mengambil sebuah gambar dari foto taman kota yang diambilnya. Dicarinya foto yang paling bagus dan ditempelkannya pada artikelnya.

Haaahh..., dia kelihatan puas dengan hasil karyanya ini. Dibacanya beberapa kali, pekerjaannya berulang-ulang sesudah disimpan dalam memori notebook.

"RRR...RRR...!!"
ponselnya bergetar ringan. Rina segera mengambil ponsel kecil yang ada di sampingnya itu.

"Halo..." sapanya. Kedua matanya masih terfokus pada layar komputer dan jari telunjuk tangan kanannya menekan tombol 'down' di notebook.

"Ah..., aku tak bisa ke sana sekarang, Yu," jawabnya. "Saat ini aku sedang menyelesaikan tulisanku. Kenapa kau tak menyuruh Budi saja untuk datang?"

Rina diam sejenak, mendengar jawaban diseberangnya. "Oh..., dia kena masalah lagi, ya?" ia mengangguk-angguk. Kemudian, menghela nafas panjang. "Kapan tuh anak bisa sadar kalau gaya nyentriknya waktu mengantar koran tuh kelak bisa benar-benar jadi 'masalah', ya..."

Suara di seberang telepon menanggapi kata-katanya. Ucapannya membuat Rina tertawa lepas. "Kau ini ada-ada saja, Bay. Kawan sendiri kau rutuki begitu."

"Iya... aku tahu kadang kau sebal dengan dia. Tapi... liat positifnya, deh. Budi tuh bukan tipikal orang yang pantang nyerah gitu aja." Rina terkekeh ringan mendengar Bayu menggerutu di seberang telepon.

"Ya, sudah. Nanti sore... kita semua berkumpul 'kan? Kita bahas masalah yang ada di tempat biasa. Bagaimana?" tawarnya.

Bayu mengiyakan di ujung telepon sana.

"Oke. Kalau begitu, tunggu nanti sore, ya," kata Rina sebelum menutup teleponnya.
"TUUUTT...!!"
Sambungan terputus.

Rina memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia lalu menekan tombol 'shut down' pada notebooknya. Setelah benda kecil itu mati, ia lalu memasukkan notebooknya ke dalam tas ransel hitamnya yang lumayan agak besar. Setelah itu, sambil membawa kameranya, gadis itu berlalu dari taman kota.

Jalan memang masih setapak. Jalurnya panjang tak tahu batasnya. Namun, aku selalu percaya... bahwa suatu saat ini... akan menemukan ujungnya. Aku akan menemukan sebuah titik... di mana aku bisa keluar dari tempat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar